Oleh : Fifih Nurlatifah, S. Hum
A.
Deskripsi Wilayah Desa Talang Benuang
1.
Sejarah
Singkat Desa Talang Benuang
Penamaan desa Talang Benuang tidak lepas dari legenda yang beredar
di masyarakat. Menurut salah satu informan dahulu kala, ada sebuah desa yang
sering disebut oleh orang setempat sebagai talang. Desa tersebut sangat subur,
bermacam jenis tumbuhan dapat tumbuh di
desa itu. Ada satu jenis pohon besar yang biasanya hanya tumbuh didaerah yang
memiliki kadar kecuraman yang dalam, namun pohon tersebut dapat tumbuh di desa itu,
yakni pohon benuang. Pohon benuang yang berada di desa tersebut diperkirakan
berdiameter lima meter sehingga orang-orang desa tersebut dapat menjadikan
pohon tersebut sebagai rumah tempat berlindung. Namun, dalam waktu yang cukup
lama pohon tersebut rubuh dan akhirnya desa tersebut dinamai desa Talang
Benuang, yang berarti desa pohon benuang.[1]
34
|
2.
Letak
Geografis
Desa Talang
Benuang merupakan daerah pemekaran wilayah Seluma yang dahulunya tergabung di Kecamatan Sukaraja. Dengan
adanya keputusan peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 12 tahun 2007 tanggal 12
Maret tahun 2007, maka desa Talang Benuang sekarang tergabung dalam Kecamatan
Air Periukan Kabupaten Seluma. Desa Talang Benuang memiliki keanekaragaman dan
perbedaan keyakinan agama yang dianut masyarakatnya seperti agama Islam,
Kristen, dan Hindu. Walaupun mempunyai perbedaan keyakinan, masyarakat Talang
Benuang mampu hidup tenggang rasa, toleransi tinggi, rukun, tentram dan damai.
Luas wilayah
desa Talang Benuang keseluruhan seluas 712 ha/m2. Adapun batas wilayah Desa
Talang Benuang dengan Desa tetangga sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit
Peninjauan II Kecamatan Sukaraja,
sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lubuk Sahung Kecamatan Air Periukan,
sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukamaju kecamatan Air Periukan, dan
sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lokasi Baru Kecamatan Air Periukan.
No
|
Arah Wilayah Desa
|
Batas Dengan Wilayah Tetangga
|
1
|
Sebelah Utara
|
Bukit Peninjauan II
|
2
|
Sebelah Selatan
|
Lubuk Sahung
|
3
|
Sebelah Timur
|
Sukamaju
|
4
|
Sebelah Barat
|
Lokasi Baru
|
Tabel 1: Letak geografis
3.
Jumlah
Penduduk
Berdasarkan
data yang telah diperoleh dari buku profil desa tahun 2014.[3]
Masyarakat Talang Benuang berjumlah 1542 jiwa terdiri dari laki-laki berjumlah
799 jiwa, dan perempuan berjumlah 743 jiwa serta kepala keluarga berjumlah 448
jiwa.
Jenis Kelamin
|
Jumlah Penduduk
|
Laki-laki
|
799 jiwa
|
Perempuan
|
743 jiwa
|
Total
|
1542 jiwa
|
Tabel
2: Jumlah penduduk
4.
Etnisitas
Penduduk
Menurut
keterangan dari kepala desa Talang Benuang, jumlah warga di desanya didominasi
oleh suku Serawai yang merupakan penduduk asli desa Talang Benuang. Suku
Serawai ini mencapai 70%. Kemudian
sebagian lain terdiri dari para pendatang yang sebagian besar merupakan
pendatang dari Bali yang jumlahnya mencapai 25%, sedangkan 5% sisanya merupakan
warga pendatang dari berbagai suku diantaranya Sunda, Jawa, Madura, dan
lain-lain.[4]
5.
Kelompok
Usia
Adapun
jumlah penduduk Desa Talang Benuang berdasarkan usia dapat di kelompokan
menjadi 15 kelompok dengan komposisi usia 0-12 bulan berjumlah 31 jiwa, usia
1-5 tahun berjumlah 144 jiwa, usia 6-10 tahun 98 jiwa, usia 11-15 tahun
berjumlah 108 jiwa, usia 16-20 tahun berjumlah 150 jiwa, usia 21-25 tahun
berjumlah 113 jiwa, usia 26-30 tahun berjumlah 131 jiwa, usia 31-35 tahun
berjumlah 116 jiwa, usia 36-40 tahun berjumlah 125 jiwa, usia 41-45 tahun
berjumlah 112 jiwa, usia 46-50 tahun berjumlah 131 jiwa, usia 51-55 tahun
berjumlah 84 jiwa, usia 56-60 tahun berjumlah 73 jiwa, usia 61-65 tahun
berjumlah 62 jiwa, usia 66-95 berjumlah 47 jiwa.
Usia
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
0-12
bulan
|
17 jiwa
|
14 jiwa
|
1-5 tahun
|
63 jiwa
|
81 jiwa
|
6-10 tahun
|
35 jiwa
|
63 jiwa
|
11-15 tahun
|
49 jiwa
|
59 jiwa
|
16-20 tahun
|
76 jiwa
|
74 jiwa
|
21-25 tahun
|
59 jiwa
|
54 jiwa
|
26-30 tahun
|
61 jiwa
|
70 jiwa
|
31-35 tahun
|
62 jiwa
|
54 jiwa
|
36-40 tahun
|
59 jiwa
|
66 jiwa
|
41-45 tahun
|
75 jiwa
|
37 jiwa
|
46-50 tahun
|
83 jiwa
|
48 jiwa
|
51-55 tahun
|
47 jiwa
|
37 jiwa
|
56-60 tahun
|
36 jiwa
|
37 jiwa
|
61-65 tahun
|
35 jiwa
|
27 jiwa
|
66-95 tahun
|
29 jiwa
|
18 jiwa
|
Tabel
3: kelompok usia
6.
Mata
pencaharian
Berdasarkan buku profil desa tahun 2014,
masyarakat Desa Talang Benuang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
mata pencaharian di antaranya petani, buruh tani, buruh migran, pegawai negeri
sipil, pengrajin indusrti rumah tangga, pedagang keliling, peternak, montir,
pengusaha kecil dan menengah, karyawan
perusahaan swasta dan pemerintah.[5]
Jenis Pekerjaan
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Petani
|
650 jiwa
|
600 jiwa
|
Buruh tani
|
120 jiwa
|
150 jiwa
|
Buruh migran
|
1 jiwa
|
2 jiwa
|
Pegawai negeri sipil
|
5 jiwa
|
-
|
Pengerajin industri
|
2 jiwa
|
-
|
Pedagang keliling
|
7 jiwa
|
4 jiwa
|
Peternak
|
95 jiwa
|
25 jiwa
|
Montir
|
2 jiwa
|
-
|
Pembantu rumah tangga
|
-
|
5 jiwa
|
Pensiunan PNS
|
1 jiwa
|
-
|
Pengusaha kecil
|
5 jiwa
|
-
|
Dukun
|
1 jiwa
|
2 jiwa
|
Karyawan perusahaan swasta
|
-
|
1 jiwa
|
Karyawan perusahaan pemerintah
|
25 jiwa
|
-
|
Tabel 4: Mata pencaharian
7.
Keagamaan
Penduduk
Desa Talang Benuang yang jumlahnya 1542 jiwa menganut tiga keyakinan kegamaan yakni
Islam, Kristen, dan Hindu. Masyarakat yang menganut keyakinan agama Islam
berjumlah 1224 jiwa sedangkan yang menganut agama Kristen berjumlah 18 jiwa,
menganut keyakinan Hindu berjumlah 300 jiwa. [6]
Agama
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
Islam
|
649 jiwa
|
575 jiwa
|
Kristen
|
7 jiwa
|
11 jiwa
|
Hindu
|
143 jiwa
|
157 jiwa
|
Tabel 5:
Keagamaan
8.
Pendidikan
Pendidikan masyarakat Desa Talang Benuang masih sangat
memperihatinkan. Penduduknya masih banyak yang belum mengenyam bangku sekolah
itu terbukti pada catatan di buku profil
desa. [7]
Pada usia 7-18 tahun laki-laki 47 dan perempuan 78 jiwa dan usia 18-56 tahun
laki-laki berjumlah 62 jiwa, perempuan 76 jiwa tidak pernah bersekolah. Dan
jumlah tamatan sekolah dasar yang mendominasi pendidikan terakhir masyarakat
Desa Talang Benuang. Adapun rincian tingkatan pendidikan di Desa Talang
Benuang, tamatan SD berjumlah 251 jiwa, SLTP berjumlah 138 jiwa, SMA berjumlah
79 jiwa, D2 berjumlah 1 jiwa, S1 berjumlah 7 jiwa S2 berjumlah 2 jiwa.
Tingkatan Pendidikan
|
Laki- Laki
|
Perempuan
|
SD
|
159 jiwa
|
92 jiwa
|
SLTP
|
81 jiwa
|
57 jiwa
|
SLTA
|
45 jiwa
|
34 jiwa
|
D2
|
1 jiwa
|
-
|
S1
|
7 jiwa
|
-
|
S2
|
2 jiwa
|
-
|
Tabel 6: Pendidikan
9.
Perkantoran
dan Fasilitas Desa
Desa Talang Benuang merupakan desa yang sudah memiliki berbagai
sarana dan fasilitas desa. Sarana pendidikan, agama, kantor desa, olah raga,
dan sarana umum seperti pasar dan angkutan
umum.[8]
Fasilitas
|
Jenis
|
Jumlah
|
Kantor desa
|
Balai desa
|
1unit
|
Kesehatan
|
Puskesmas
|
1 unit
|
Pendidikan
|
TK
SD
|
1 unit
1 unit
|
Olah raga
|
Lapangan volly
|
1 unit
|
Umum
|
Pasar
Truck umum
Telepon umum
|
1 unit
10 unit
1 unit
|
keagamaan
|
Masjid
Mushola
|
1unit
2 unit
|
Tabel 7: perkantoran dan Fasilitas Desa
10.
Tradisi
dan Seni Budaya
Desa Talang Benuang memiliki keanekaragaman tradisi atau adat
istiadat. Tidak hanya tradisi Sekujang yang dilestarikan, akan tetapi masih
banyak tradisi atau adat istiadat yang
ada di Talang Benuang yang masih sampai
saat ini dilestarikan kegiatannya. Jenis-jenis tradisi dan kebudayaan yang ada
di desa Talang Benuang adalah sebagai berikut:
a. Tradisi Tari Adat
Tradisi
tari adat merupakan tarian yang ditampilkan pada saat acara pernikahan. Menurut
keterangan ketua adat desa Talang Benuang, yang dimaksud ialah tari Andun, tari
piring dan Pencak silat. Masyarakat Talang Benuang
melakukan tarian ini setelah acara akad nikah selesai, biasanya pasangan
pengantin juga mengikuti tari andun dan pencak silat. Pada saat menari,
diiringi dengan tabuhan rebana, kelintang
dan alunan serunai. Adapun tujuan dari tradisi ini untuk melestarikan dan menjaga adat istiadat lokal
yang ada pada masyarakat Talang Benuang.[9]
b. Tradisi Nigo dan Nujuah Aghi (tiga dan tujuh hari kematian)
Tradisi nigo dan nujuah aghi telah lama dilakukan oleh masyarakat Talang
Benuang secara turun temurun. Tradisi nigo
dan nujuah aghi oleh masyarakat Desa Talang Benuang dikenal dengan nama
tradisi nyudahi. Proses tradisi ini
diawali dengan sholat berjama’ah di rumah
ahli musibah dan dilanjutkan dengan
pembacaan yasin dan diakhiri dengan berdo’a. Dipenghujung acara sepokok
rumah menggelar jamuan bertujuan untuk memberikan rasa dan ucapan terima kasih
kepada masyarakat yang telah hadir guna menghibur ahli rumah yang lagi terkena
musibah, supaya mereka mendapatkan dorongan atau semangat setelah ditinggal
oleh anggota keluarga yang dicintainya.
c. Tradisi Sedekah Nasi Kunyit
Masyarakat Desa Talang Benuang memiliki kebiasaan pada saat
menempati rumah baru yang telah selesai dibangun untuk ditempati, sebelum
menepati rumah baru masyarakat Talang Benuang menggelar tradisi berupa sedekah nasi kunyit. Umumnya tradisi ini menggunakan punjung atau nasi kunyit dan hidangan lainnya seperti kue, nasi putih dan sayur lainnya.
Adapun tujuan melakukan tradisi ini supaya orang yang memiliki rumah baru, pada
saat menempati rumah dan membangun rumah tangga diberikan kemurahan rezeki,
rasa aman dan tentram ketika menempati rumah baru.[10]
d. Tradisi Minta Do’a malam takbir (minta du’a malam takbir)
Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat
Talang Benuang pada saat malam satu Syawal tiba. Pada malam itu masyarakat
Talang Benuang secara bergantian dari rumah ke rumah untuk berdo’a dan takbiran
bersama. Setelah usai melakukan takbiran bersama dan berdoa, sepokok rumah
menyediakan jamuan sebagai wujud syukur telah melaksanakan rukun Islam yang
ketiga. Tradisi ini lazim disebut dengan tradisi minta dua’ malam takbir.
B.
Hasil
Penelitian Pembahasan
1.
Legenda-Legenda
Sekujang
Tradisi sekujang yang hingga kini
bertahan dan tetap dilestarikan oleh masyarakat desa Talang Benuang berangkat
dari beberapa legenda yang mereka yakini. Legenda tersebut tidak hanya satu
legenda saja, melainkan ada beberapa legenda yang peneliti temukan, yakni
sebagai berikut:
Legenda pertama:
Diperkirakan sekitar abad 16 M,
sebelum Islam masuk ke Bengkulu, ada dua orang bersaudara yang tinggal disebuah
ladang yang letaknya jauh dari pemukiman warga di satu desa yang dikenal dengan
nama Temedak Rimbo Jauh. Mereka mencari penghidupan dengan cara menanam bermacam-macam
sayuran dan buah-buahan ditempat mereka tinggal. Namun, dalam waktu yang sangat
lama apa yang ditanam tak kunjung mereka tuai hasilnya.
Tersebutlah seorang dukun tempat
mereka meminta saran. Mereka menanyakan sebab apa yang membuat tanaman mereka
tak menghasilkan. Dukun tersebut menjawab karena mereka memiliki kesalahan,
yakni tidak mendoakan arwah terputus yang ada di dusun tersebut. Kemudian dua
bersaudara tersebut menanyakan kembali kepada dukun tersebut tentang apa yang
harus mereka lakukan. Dukun tersebut memberikan saran agar mereka melakukan Sekujang,
yakni keliling kerumah-rumah warga dengan meminta makanan yang kemudian
didoakan khusus untuk arwah terputus. Namun dua orang tersebut merasa keberatan
untuk melakukan hal yang disarankan oleh Sang dukun. Selain karena jarak tempat
mereka tinggal jauh dari pemukiman warga, juga karena mereka merasa bukan hal
mudah untuk meminta makanan pada warga. Dukun tersebut kemudian kembali
memberikan saran kepada dua bersaudara dengan menganjurkan untuk keliling rumah
warga dusun meminta kue dan sebagai imbalannya mereka harus menghibur warga
tersebut dengan melakukan apa yang warga inginkan, seperti melantunkan pantun,
bernyanyi dan lain-lain. Saran tersebut diterima oleh dua orang bersaudara dan
mereka laksanakan hingga tradisi tersebut secara turun-temurun dilaksanakan
oleh warga setempat.[11]
Legenda kedua:
Cerita
tentang sekujang ini prakarsai oleh Jamil dan Ginggang ketika pendirian kampung
Bengkulu pada zaman Hindu-Budha. Sekujang di mulai pada saat ada satu pohon
besar yang di sebut pohon Kluntum Sakti, pohon ini dikuasai oleh bangsa jin
atau makhluk halus. Tokoh kampung pada saat itu berniat untuk menebang pohon
Kluntum Sakti ini, kemudian beberapa kali di tebang tidak berhasil roboh, pada
saat itulah terjadi dialog antara tokoh kampung dan makhluk halus penunggu
pohon Kluntum Sakti. Dialog antara tokoh masyarakat (Besira Emas) dan penghuni pohon Kluntum Sakti itu menghasilkan
perjanjian (janji semanyo) antara
mahluk halus dan tokoh kampung.
Isi perjanjiannya adalah pohon Kluntum Sakti tersebut bisa di tebang
asalkan tokoh kampung menyediakan tumbal sejumlah 40 orang bujang dan 40 orang
gadis dan tokoh kampungpun menyanggupi perjanjian tersebut. Ketika hari
perjanjian tiba, tokoh kampung mengumpulkan 40 bujang 40 gadis untuk dijadikan
tumbal, dan 40 bujang 40 gadis ini disusun mengelilingi pohon Kluntum Sakti tapi oleh tokoh kampung sudah membuatkan parit disekeliling tempat
40 bujang 40 gadis untuk dijadikan perlindungan ketika pohon Kluntum Sakti di tebang.
Sebelum pohon itu ditebang tokoh kampung memberikan
pengarahan kepada 40 bujang dan 40 gadis ketika nanti pohon Kluntum Sakti roboh semuanya harus
terjun ke dalam parit (siring) yang sudah dibuat sebelumnya. Ketika pohon
ditebang dan roboh semua 40 bujang dan 40 gadis terjun ke dalam parit (siring) dan pada waktu itu semua calon
tumbal terkejut dan pohon kluntum sakti tidak menimpa atau
memakan satu calon tumbalpun. Pada saat
itu lahirlah adat bumi mangkuto
atau adat Serawai. Sadar bangsa jin tertipu oleh tokoh kampung dan mahluk halus
penunggu pohon Kluntum Sakti
marah pada bangsa manusia. Lalu mereka menampakan wujud yang menakutkan (antu-antu) dan wujud inilah yang
diyakini bangsa manusia yang sering menakut-nakuti, menggangu anak-anak dan
orang dewasa.[12]
Legenda ketiga:
Dahulu kala ada seorang pemuda. Dia adalah anak
yang soleh, baik kepada orang tua maupun tetangganya. Suatu hari, ayah dan
ibunya dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Ia menjadi anak yatim piatu, namun ia
masih berlaku baik kepada para tetangga. Ia masih sering berderma dan membantu
para tetangga yang memang membutuhkan bantuan. Pada suatu hari, ia bercocok
tanam. Ia menanam banyak sekali tanam tanaman.
Ia menanam padi, pohon buah-buahan dan sebagainya. Namun ia sedang diuji,
padi yang ia tanam namun rerumputan yang tumbuh, pohon buah buahan yang ia
tanam semuanya mati. ujiannya tak hanya berlangsung
satu kali atau dua kali. Tapi hampir selama tujuh tahun, ia tetap diuji dengan
nasib yang selalu tak baik. Sebagai manusia biasa akhirnya ia pasrah, ia lalu
meninggalkan tempat tinggalnya. Sebelum ia pergi, ia berpesan agar semua
tanamannya yang ia tanam jika membuahkan hasil, hasilnya disedekahkan untuk
para fakir miskin.
Suatu
keanehan terjadi ketika ia meninggalkan desa itu, padi yang ia tanam dan tumbuh
jadi rumput berubah menjadi padi yang sangat subur dan berbuah yang sangat banyak. Pohon buah-buahan yang selama
ini ia tanam lalu mati, tiba-tiba jadi tumbuh dan
berbuah sangat lebat, buahnya sangatlah ranum. Para warga desa lalu
berusaha mencari sang bujang ini dengan
berkata “Jang....Bujang!!”. Namun sang
bujang tak ditemukan lagi. Itulah kenapa dilaksanakan sekujang, yakni untuk
mengenang kebaikan si bujang ini.[13]
2.
Prosesi Tradisi Sekujang
a.
Persiapan
Adapun tahap-tahap persiapan yang dilakukan sebelum sekujang
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1)
Pamit
atau meminta izin kepada Kepala Desa
Pada proses pertama ini ketua adat
meminta izin kepada Kepala Desa dan menanyakan apakah pada tahun tersebut desa
Talang Benuang akan melaksanakan Sekujang atau tidak. Selain itu hal yang jadi
perbincangan antara ketua adat dan kepala Desa dalam proses ini yakni membagi
wilayah mana saja yang akan melaksanakan sekujang. Ketua adat datang meminta
izin kepada Kepala Desa dengan membawa lengguai[14]
yang menjadi media komunikasi atau media meminta izin. setelah mendapatkan izin
dari Kepala Desa kemudian dilanjutkan pada proses selanjutnya adalah rapat.
2)
Rapat
penentuan anggota sekujang
Biasanya rapat
ini dilaksanakan seminggu menjelang Idul Fitri. Dalam rapat ini ditentukan
siapa-siapa saja yang akan menjadi anggota sekujang. Anggota sekujang tidak
dibatasi secara pasti jumlahnya, namun hanya diperkirakan oleh ketua sekujang
apakah cukup dengan jumlah tertentu atau tidak. Hal tersebut berimbas pada
sulitnya mengkordinir anggota sekujang jika terlampau banyak, karena bukan saja
orang dewasa dan remaja yang ikut menjadi anggota sekujang, anak-anak juga ada
yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota sekujang. Menurut kepala desa
Talang Benuang anggota sekujang pada tahun ini mencapai 50 orang lebih.
Tidak ada ketentuan khusus untuk menjadi anggota sekujang, hanya
kesanggupan melaksanakan dan mengikuti prosesi dari awal hingga berakhir.
Karena tidak mudah menjadi anggota sekujang yang menggunakan pakaian berbahan
ijuk yang diikatkan kebadan dan berjalan mengelilingi kampung selama sekitar 8
jam.[15]
3)
Latihan
tari adat
Pada
proses pelaksanaan sekujang akan ditmpilkan tari adat sebelum seluruh anggota
sekujang berkeliling kerumah-rumah warga. Karena itu, sebelumnya mereka akan
melakukan latihan tari adat, terutama bagi mereka yang baru menjadi anggota
sekujang. Adapun tarian yang biasanya ditampilkan adalah tari piring, tari
andun dan pencak silat.
4)
Bebalut
(menggunakan pakaian khas Sekujang)
Anggota
sekujang akan menggunakan pakaian menjadi tiga macam antu-antu atau sakura.
Yang menurut Bapak Matzakir tiga macam tersebut adalah antu-antu atau sekura
yang terbuat dari ijuk, yang terbuat dari gegisiak dan sekura tino.[16] Pada
proses ini banyak bahan atau kelengkapan yang harus disiapkan, yakni sebagai
berikut:
a)
Tali
rapia
Digunakan untuk
mengikatkan ijuk, daun pisang kering dan bahan lain kebadan anggota sekujang
hingga menutup anggota badan.
b)
Ijuk
Digunakan untuk menutup badan anggota sekujang yang kemudian
disebut antu-antu.
c)
Daun
pisang kering (gegisiak)
Guna daun pisang kering ini sama dengan ijuk, yakni menutup badan
anggota sekujang untuk membentuk antu-antu.
d)
Pelepah
pinang (upiah)
Pelepah pinang atau upiah yang telah dibentuk menyerupai wajah
hantu sebagaimana keyakinan warga setempat. Ini digunakan sebagai topeng oleh
salah satu anggota sekujang.
e)
Topeng
Topeng ini diyakini oleh masyarakat sebagai bentuk antu-antu.
Topeng yang digunakan ini memiliki bentuk yang bermacan-macam seperti bentuk
gorila, bentuk wajah yang berlumuran darah atau bentuk lain yang menyeramkan.
f)
Baju
daster
Baju daster ini
digunakan oleh anggota sekujang sebagai bentuk antu-antu perempuan, yang
diyakini oleh masyarakat bahwa orang yang meninggal tanpa keturunan atau arwah
terputus ada yang berjenis kelamin perempuan. Bentuk antu-antu ini biasanya
dipercaya oleh masyarakat sebagai arwah wanita yang meninggal dalam keadaan
hamil atau meninggal karena melahirkan.
g)
Baju
kebaya
Bentuk
antu-antu yang menggunakan baju kebaya ini sama seperti antu-antu yang
menggunakan baju daster yang diyakini sebagai wujud arwah perempuan yang
meninggal tidak wajar.
5)
Kenurian
(mendoa’kan/membacakan mantra pada sesajen)
Proses kenurian ini dilaksanakan ketika proses bebalut
telah selesai dilaksanakan. Pada proses ini seorang dukun akan membacakan
mantra pada sesajen yang telah disiapkan seperti tenggek ayam, dan air campuran
jeruk nipis. Tenggek ayam yang telah didoakan ini hanya sebagai simbol makanan
para arwah terputus yang kelak akan dibagikan pada sesepuh adat dan perangkat
desa. Sedangkan air campuran jeruk nipis akan diberikan kepada seluruh anggota
sekujang yang biasanya diminum atau hanya dipercikkan pada anggota sekujang. Dalam
proses kenurian ini ada beberapa macam yang harus disiapkan, yakni sebagai
berikut:
a)
Tenggek ayam
Tenggek ayam
ini terdiri dari nasi kunyit (punjung) yang terbuat dari ketan yang diatasnya
diletakkan ayam dusun (ayam kampung) yang telah dimasak.
Adapun proses
pembuatan tenggek ayam adalah sebagai berikut:
Punjung
(nasi
kuning) yang berbahan dasar beras ketan, kunyit dan santan. Beras ketan
dibersihkan terlebih dahulu, lalu dimasukkan ke dalam panci (periuk), kemudian kunyit
dibersihkan lalu digiling, serta dicampur ke dalam santan kelapa, setelah itu dimasukan
kedalam panci bersamaan dengan beras ketan yang telah dibersihkan, lalu dimasak
dan tunggu sampai matang, angkat lalu diletakkan diatas talam yang sudah
disediakan.
Ayam
dusun (ayam kampung) dipotong lalu dibersihkan, setelah
itu di masak di dalam kuali (belango)
dengan campuran santan kelapa dan bumbu-bumbu lain sampai kering, setelah
kering ayam diangkat dan diletakkan di atas punjung yang sudah
disiapkan.
b)
Air dengan
jeruk nipis
Air ini diletakkan dalam
satu wadah yang harus cukup untuk seluruh anggota sekujang. Air putih ini
dianggap sakral dalam proses kenurian, karena setelah proses kenurian
berlangsung air campuran jeruk nipis ini akan dibagikan kepada para anggota
sekujang untuk diminum atau hanya dipercikkan kepada seluruh anggota sekujang.
Menurut beberapa anggota sekujang, jika proses kenurian ini benar-benar
berhasil, setelah meminum atau dipercikkan air campuran jeruk nipis tersebut
pelaksanaan sekujang yang membutuhkan waktu yang cukup lama dengan pakaian yang
sangat membuat anggota sekujang tidak nyaman akan terasa ringan dan takkan
terbeban sama sekali.
c)
Juang
Abang
Juang abang
adalah sejenis tumbuhan yang dalam proses kenurian ini dignakan untuk
menyipratkan air campuran jeruk nipis pada seluruh anggota sekujang.
d)
Kemenyan
dan dupa
Dupa biasanya
dibuat dari tempurung kelapa yang digunakan untuk membakar kemenyan saat proses
kenurian berlangsung. Kemenyan ini digunakan sebagai media penghubung antara
arwah terputus dengan manusia. Namun, seiring perkembangan zaman kemenyan dan
dupa ini sudah tidak memiliki makna sakral lagi dan hanya sebagai syarat dalam
pelaksanaan sekujang.
b.
Pelaksanaan
Dalam tahap
pelaksanaan ini ada beberapa hal yang dilaksanakan, yakni:
1)
Pengarahan
Sebelum anggota
sekujang dilepas untuk keliling kerumah-rumah warga, mereka terlebih dahulu
mereka akan mendapatkan pengarahan dari ketua adat dan perangkat desa setempat.
Pengarahan tersebut yakni tentang larangan mengganggu anak-anak, warga dan
pendatang dengan cara menakut-nakuti. Mereka hanya diharuskan untuk keliling
rumah warga untuk meminta kue dan menghibur warga setempat. dalam tahap ini
juga ketua adat atau kepala desa akan menjelaskan perihal tradisi sekujang,
baik itu sejarah, tujuan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dilestarikannya
tradisi sekujang di desa tersebut. Dan dalam kesempatan ini juga ketua adat
atau kepala desa menggunakan momentum ini untuk mengajak seluruh anggota
masyarakat untuk melestarikan tradisi yang telah diturunkan oleh sesepuh mereka
sampai saat ini.
2)
Tari
Adat
Setelah
mendapatkan pengarahan, maka anggota sekujang dipersilakan untuk menarikan tari
adat yang biasanya berupa tari andun, tari piring, pencak silat dan lain-lain.
Dalam proses ini, biasanya ada seseorang yang telah diberi tugas untuk
menjelaskan bahwa selain tradisi sekujang, mereka juga memiliki tradisi berupa
tarian yang mereka lestarikan. Tarian ini juga bisanya diiringi dengan alat
musik yang berupa rebana dan kulintang yang kemudian kedua alat musik ini akan
digunakan juga ketika proses keliling meminta kue kerumah warga.
3)
Keliling
meminta kue kerumah warga
Anggota
sekujang keliling kampung meminta makanan pada warga setempat dengan pemberian
yang sukarela. Makanan tersebut dibungkus kemudian diletakkan oleh warga
kedalam keranjang yang dibawa oleh anggota sekujang. Sebagai imbalannya,
anggota sekujang harus melakukan apa yang menjadi permintaan warga seperti
membacakan pantun, bernyanyi maupun berjoged. Bahkan terkadang ada juga warga
yang meminta supaya cepat dapat jodoh dan meminta obat supaya disembuhkan dari
penyakit yang diderita. Jika ada permintaan warga yang demikian, maka salah
satu anggota sekujang yang telah ditunjuk berperan sebagai dukun akan mengambil
daun dari tempat sekitar dan membacakan doa kemudian daun tersebut diberikan
pada warga yang meminta.
Ketika anggota
sekujang keliling rumah warga untuk meminta kue, ada seorang yang bertugas
untuk membacakan pantun, adapun macam-macam pantunnya adalah sebagai berikut:
Jang Sekujang anai-anai bawa batang
Betutup daun bulua
Anak muanai banyak datang
Ado seratus tigo pulua
Kepaliak nguggur kelintang
Ditengah jalan ke tanggo raso
Mangko kami tughun Sekujang
Rerayo bulan puaso
Buah teghung mereliak’an
Buah perenggi tepi umo
Bejujung bekiliak’an
Lum bae datang galo
Tang sibo tatang
Batang pelawi timbul tenggelam
Sangkan kami lambat datang
Dusun jauh bulan bekelam
Kangkung basah-basah
Pemudiak aik pendalam
Jangan ibung susah payah
Kami ido ka temalam
Amon putia katoka putia
Putia sekali bungo melur
Amo bulia kiciaka bulia
Ido bulia kami ndak undur
Serindit terbang tengaghi
Duo sekawan burung terkuku
Alaka keghit guma ini
Munika kue baling tungku
Sapu tangan jatua kelaut
Panci bujang periasan
Panjang tangan kami menyambut
Kasia ibung ido kebalasan.
Terjemahan:
Jang sekujang rayap membawa batang
Ditutup daun bambu
Sanak keluarga banyak datang
Ada seratus tiga puluh
Kepalik mukul kelintang
Ditengah jalan ke tangga rasa
Alasan kami melaksanakan sekujang
Karena hari raya setelah bulan puasa
Buah terong terlihat banyak
Buah labu tepi ladang/sawah
Disimpan diatas digendong
Belum saja datang semua
Tang sibo tatang
Pohon pelawi timbul
tenggelam
Alasan kami terlambat datang
Karena dusun jauh bulanpun gelap
Kangkung basah-basah
Pamudiak air pendalam
Janganlah bibi susah payah
Kami tidak akan menginap
Burung serindit terbang tengah hari
Dua sekawan burung tekukur
Sangatlah pelit rumah ini
Menyembunyikan kue dibelakang tungku
Kalau putih katakan putih
Sangatlah putih bunga melur
Kalau boleh katakan boleh
Kalau tidak boleh kami undur diri
Sapu tangan jatuh kelaut
Sifat anak muda/pemuda
Kami menyambut dengan senang hati
Kasih bibi tidak terbalas
4)
Berdoa’
di masjid
Setelah anggota
sekujang keliling kerumah-rumah warga meminta makanan, mereka beserta perangkat
desa dan para sesepuh berangkat ke sebuah masjid dengan membawa makanan yang
mereka dapatkan dari warga setempat. Setelah itu, makanan yang mereka dapatkan
dikumpulkan untuk kemudian didoakan. Doa yang dibacakan oleh orang-orang yang
hadir di masjid tersebut di khususkan untuk arwah terputus, yakni orang yang
meninggal tidak memiliki keturunan. Warga setempat mempercayai bahwa orang yang
meninggal tidak memiliki keturunan masih tetap butuh untuk didoakan, sedangkan
mereka tidak memiliki keturunan atau keluarga yang akan mendoakan mereka. Oleh
karena itu warga setempat mengkhususkan doa tersebut untuk arwah yang terputus
agar mendapat ketenangan. Pembacaan doa ini dipimpin oleh tokoh agama yang
telah ditunjuk oleh panitia sekujang. Dalam proses ini biasanya membacakan
surat Al-Fatihah bersama yang dikhususkan untuk arwah terputus yang berada di
desa tersebut. Kemudian membacakan doa selamat dan lain-lain.
5)
Makan
makanan bersama
Setelah doa
bersama, makanan yang terkumpul kemudian dimakan bersama-sama oleh anggota
sekujang, perangkat adat, perangkat desa, sesepuh desa dan masyarakat yang
hadir dalam doa bersama tersebut. Jika makanan yang tersedia masih bersisa,
maka makanan tersebut akan dibagikan kepada seluruh orang yang hadir di masjid
dan dibawa pulang.
3.
Faktor Penghambat dan faktor Pendukung Keberlangsungan Sekujang
a.
Faktor
penghambat
Dalam setiap jenis kebudayaan,
terutama tradisi acapkali memiliki beberapa hambatan. Baik itu dari dalam
maupun dari luar tradisi tersebut.
Begitu juga dengan tradisi sekujang
ini, kehidupan masyarakat yang semakin modern seiring kemajuan tekhnologi yang
semakin canggih menjadikan adanya anggapan masyarakat terutama kaum muda bahwa sekujang
sudah tidak menarik untuk dilaksanakan. Menurut sebagian mereka hiburan atau
acara yang berbau tradisional semacam ini akan lebih praktis jika digantikan
dengan hiburan-hiburan lain yang lebih modern seperti organtunggal dan lain-lain.
Seperti yang dikemukakan oleh Yapani ketika diwawancarai:
“Anak muda zaman sekarang udah gak mau ngurusin hal-hal tradisional,
bagi mereka zaman sekarang sudah modern. Jadi kalau hiburan lebih baik main
organtunggal saja.”[17]
Hal senada
disampaikan oleh anggota sekujang, Sanuli:
“Anak-anak di desa ini sudah kami kenalkan dengan sekujang, biar
mereka terbiasa. Karena anak muda sekarang kebanyakan sudah tidak peduli dengan
kebudayaan yang ada, apalagi sekujang ini pelaksanaannya susah dan lama, mereka
lebih senang hadir pada acara yang ada organ tunggalnya.”
Hal seperti ini dianggap oleh para
pelestari sekujang sebagai hambatan yang bisa merusak bahkan menghentikan
proses pelestarian budaya. Karena justru kaum mudalah yang diharapkan mampu
menjadi penerus dalam usaha pelestarian budaya setempat, jika kaum muda sudah
tidak peduli dengan adanya kebudayaan yang ada di daerahnya, maka mereka akan
kehilangan identitas mereka.
Selain itu, pelaksanaan sekujang
yang hanya setiap satu tahun sekali ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat baik dari dalam maupun luar desa setempat. Tak sedikit warga yang berdatangan
untuk mengikuti prosesi sekujang, hingga desa Talang Benuang kerapkali dipadati
oleh pengunjung. Dalam situasi yang seperti inilah konflik bisa dengan mudah
terjadi dan keamanan-pun akan terancam. Petugas keamanan yang telah ditugaskan
tidak sebanding dengan pengunjung yang hadir. Hal ini terkadang menjadi
pertimbangan bagi pemerintah desa untuk tidak melaksanakan sekujang, karena
khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Kalau lagi ada sekujang tu, desa ni penuh dengan orang yang mau
nonton. Kadang tu bemotor, bemobil, sampai jalan ni susah mau lewat.
Kalau la banyak orang tu kadangan ado-ado bae yang jadi masalah, tulah
makanya kadang perangkat adat bingung mau melaksanakan sekujang apa enggak,
karena takut kan..”.[18]
Ujar Bapak Yapani ketika diwawancarai.
Selain itu, yang menjadi kendala
dalam pelaksanaan sekujang ini adalah dana. Karena tak dapat dipungkiri bahwa
setiap kegiatan akan membutuhkan dana. Seperti ungkapan kades Talang Benuang
ketika diwawancarai:
“Kita ni nggak bisa ngelak, karena memang setiap kegiatan
pasti membutuhkan dana. Tinggal kitanya lagi aja yang ngatur darimana kita bisa
mendapatkan dana tersebut”.
b.
Faktor
pendukung
Selain
adanya faktor penghambat, dalam pelestarian ini juga memiliki faktor pendukung.
Masyarakat desa Talang Benuang didominasi oleh suku Serawai yang merupakan suku
asli desa tersebut. Mereka hidup dengan menggunakan hukum adat yang sangat
dipatuhi oleh semua kalangan. Mereka memegang teguh tradisi. Tradisi nenek
moyang mereka akan mereka pertahankan dan terus dilaksanakan, seperti tradisi
sekujang ini merupakan tradisi yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh
warga setempat, dan adanya keyakinan masyarakat jika tidak melaksanakan sekujang
akan terjadi bencana. Seperti ungkapan dari salah satu warga desa Talang Benuang:
“Sekujang
ni la tradisi, nido pacak amo nido dikerjoka. Amo nido dikerjoka ado-ado bae bala
kelo tu. Kadangan pohon-pohon tu nido bebuah.”
“Sekujang ini
sudah menjadi tradisi, tidak bisa jika tidak dilaksanakan. Kalau tidak
dilaksanakan ada saja kesialan yang terjadi. Kadang pohon-pohon tidak berbuah”.
Faktor
inilah yang menjadikan tradisi sekujang terus bertahan dan dipertahankan oleh
warga setempat.
Selain itu, yang menjadi faktor
pendukung keberlangsungan sekujang ini karena adanya pemerintahan adat dan
pemerintahan desa yang terus berusaha melestarikan tradisi sekujang menjadi
salah satu faktor bertahannya sekujang. Desa Talang Benuang terdiri dari dua
pemerintahan, yakni pemerintahan adat dan pemerintahan desa yang keduanya
mendukung secara penuh dan terus berusaha melestarikan tradisi sekujang agar
tidak kalah oleh modernnya zaman. Karena menurut mereka kebudayaan yang
tergambar dalam tradisi akan menjadikan mereka tetap memiliki identitas yang
kemudian akan secara mudah dikenal oleh masyarakat luar.
Seperti yang dikemukakan oleh kepala
desa Talang Benuang, Endang Subandi:
“Kami terus berusaha melestarikan sekujang, karena di desa ini
memiliki dua pemerintahan yakni pemerintahan adat dan pemerintahan desa yang
sama-sama berjuang untuk terus melestarikan sekujang.”[19]
Faktor
selanjutnya yang menjadikan tradisi sekujang ini tetap bertahan adalah karena
banyaknya masyarakat setempat yang merasa terhibur dengan adanya tradisi ini. Selain sebagai
hiburan, mereka juga menjadikan momen ini sebagai ajang silaturahmi karena
dalam suasana lebaran/ Idul Fitri.
Faktor
pendukung yang terpenting dalam pelaksanaan sekujang ini adalah karena tradisi
sekujang yang dilaksanakan di desa Talang Benuang ini tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Kalaupun ada hal-hal yang nampak bukan berasal dari ajaran Islam,
itu adalah sebagai wujud dari budaya lokal yang berusaha dilestarikan dan
perlahan pemaknaannya sudah dimasuki ajaran Islam.
“Sekujang ini
makanya kami pertahankan selain tradisi dari nenek moyang juga karena tidak
bertentangan dengan Islam. Kalau ada pelaksanaannya yang masih kelihatan
seperti penganut animisme, dinamisme, atau diluar Islam lainnya itu hanya simbol
yang maknanya sudah bergeser menjadi islami.”[20]
Ujar Bapak Endang Subandi.
Faktor yang
terakhir ini dijadikan dasar pendukung yang kuat bagi para pelestari sekujang,
karena dalam berbagai kebudayaan yang dipertimbangkan adalah menyimpang atau
tidaknya bagian dari budaya tersebut dari agama.
4.
Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Sekujang
Agar mampu menggambarkan adanya akulturasi Islam dan budaya lokal
dalam tradisi sekujang, penulis terlebih dahulu akan memaparkan beberapa unsur
keislaman dan unsur budaya lokal dalam tradisi sekujang. Adapun unsur-unsur
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Unsur
keislaman dalam sekujang
Ada beberapa
unsur keislaman dalam pelaksanaan tradisi sekujang, yakni sebagai berikut:
1)
Pelaksanaan
sekujang yang berpatokan pada hari besar Islam, yakni sore-malam hari Idul
Fitri (2 syawal). Ini menunjukkan bahwa tradisi sekujang mengandung unsur-unsur
budaya Islam karena pelaksanaan sekujang ini berpatokan pada tahun Islam
(hijriyah), bukan pada tahun masehi. Dan pada tanggal 2 syawal ini di Indonesia
sering dijadikan sebagai waktu untuk bersilaturahmi yang disebut dengan halal
bihalal.
“ Sekujang ni
dilaksanakan setiap tanggal 2 syawal, berarti yang punya tradisi ini adalah
orang Islam karena makai tahun hijriyah”.[21]
2)
Sedekah
Konsep sedekah
ini tergambar pada masyarakat yang menyumbangkan kue pada anggota sekujang yang
kelak makanan yang diberikan akan didoakan dan pahalanya dikhususkan untuk arwah terputus yang berada di desa
tersebut.
“Dengan
memberikan makanan kepada anggota sekujang
ini menggambarkan sedekah, karena makanan ini kelak akan dikumpulkan
dimasjid kemudian berdoa dan pahala sedekah tersebut dikhususkan untuk arwah
terputus seperti orang yang mati tidak memiliki keturunan, orang yang mati
dalam keadaan masih bujang, orang yang mati hanyut dan lain-lain.”[22]
Ujar bapak Endang Subandi.
3)
Mendoakan
orang yang telah meninggal yang dalam tradisi Islam Indonesia disebut sebagai
tahlilan.
Dalam ajaran
Islam ada tiga hal yang tidak akan terputus setelah seseorang meninggal dunia.
Yakni amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan
orangtuanya. Dalam hadist disebutkan:
اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث: صدقة جارية اوعلم ينتفع به
أو ولد صالح يدعوله.
“Jika anak adam meninggal dunia, maka amalnya terputus kecuali
tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya”.
(HR. Muslim).
Sedangkan
menurut warga setempat, mereka yang meninggal tidak memiliki keturunan tidak ada
yang mendoakan. Oleh karena itu warga setempat bersedekah dengan memberikan
makanan yang pahalanya dikhususkan untuk arwah yang tidak memiliki keturunan.
Seperti
ungkapan Bapak Matzakir:
“Sekujang
ni intio minta nga tuhan, minta-minta jemo yo mati nido ado keturunan, jemo yo
mati bujang, jemo mati anyut tu di tenangka. Mangko tu buah-buahan luak
rambutan, jambu, manggus pacak bebuah lebat”. [23]
“Sekujang
ini intinya minta kepada tuhan, semoga arrwah orang yang meninggal tidak
memiliki keturunan, orang yang meninggal dalam keadaan masih bujang, orang yang
meninggal karena hanyut itu arwahnya diberikan ketenangan. setelah itu
buah-buahan seperti rambutan, jambu, manggis berbuah lebat”.
Mereka meyakini
bahwa doa yang mereka kirim dengan keikhlasan hati dan dengan penuh kebersamaan
akan sampai pada ruh orang yang telah meninggal dunia.
4)
Menggunakan
masjid sebagai tempat untuk berdoa’.
Setiap penganut
agama memiliki tempat peribadatan sebagai tempat atau sarana untuk beribadah.
Begitu juga orang Muslim sebagai sebutan bagi penganut agama Islam. Mereka
memiliki tempat peribadatan yang disebut masjid. Pelaksanaan sekujang pada
tahap terakhir dilaksanakan di masjid, ini menunjukkan bahwa pelaku sekujang
ini adalah orang-orang Islam.
“Pelaksanaan
terakhir itu nanti berdoa dimasjid, biar orang-orang tau kalau yang
melaksanakan sekujang ini adalah orang Islam.” [24]
b.
Unsur
budaya lokal dalam sekujang
1)
Memberi
makan arwah terputus
Memberi makan
arwah terputus ini digambarkan pada prosesi ketika warga masyarakat memberikan
makanan atau kue pada anggota sekujang yang datang kerumah warga. Mereka
berkeyakinan bahwa ketika arwah terputus tersebut telah diberi makan, maka
arwah itu tidak akan menganggu kehidupan mereka.
“Ada juga yang
beranggapan bahwa dengan memberikan makanan kepada anggota sekujang ini berarti
memberikan makanan kepada arwah yang berada di desa ini, dengan begitu arwah
tersebut tidak akan mengganggu kehidupan manusia.”[25]
2)
Menggunakan
sesajen dan membacakan mantra dalam prosesi sekujang.
Sesajen ini
adalah sebagai simbol memberikan makanan kesukaan pada arwah yang berada di desa tersebut.
Sedangkan mantra yang dibacakan bertujuan agar pelaksanaan sekujang berjalan
lancar.
3)
Membakar
kemenyan
Kemenyan ini diyakini oleh masyarakat sebagai wewangian yang sangat
disukai oleh para arwah. Dalam hal ini kemenyan awalnya digunakan untuk
memanggil para arwah, namun saat ini hanya digunakan sebagai syarat dan
wewangian saja.
Penulis telah merumuskan beberapa hal yang termasuk kedalam unsur budaya
lokal dan unsur keislaman dalam tradisi sekujang. Dari beberapa unsur budaya
lokal dan unsur keislaman yang ada dalam pelaksanaan sekujang dapat dilihat
adanya beberapa akulturasi dalam kedua unsur tersebut. Adapun bentuk akulturasi
tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam prosesi memberikan makanan kepada anggota sekujang. Pemberian
makanan pada anggota sekujang ini dianggap sebagai bentuk pemberian makanan
terhadap arwah terputus yang tidak memiliki keturunan dan tidak memiliki tempat.
Sedangkan sekarang pemaknaan kegiatan ini telah bergeser yang dianggap sebagai
bentuk sedekah dalam Islam.
Kedua,dalam prosesi membakar kemenyan yang dianggap wewangian yang disukai oleh para arwah dan arwah tersebut
akan datang ketika kemenyan tersebut dibakar. Kini sebagian besar dari mereka
hanya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari tradisi saja yang tak
memiliki makna sakral lagi.
Ketiga, dalam tahap membaca mantra. Dahulu, masyarakat menganggap bahwa
mantra yang dibacakan pada saat kenurian ini merupakan dialog antara sang dukun
dengan arwah yang berada di desa tersebut. Dialog tersebut merupakan permintaan
kepada arwah untuk meminta perlindungan agar pelaksanaan sekujang berjalan
lancar. Namun, dalam perkembangannya, kini mantra ini dibacakan untuk meminta
perlindungan kepada Allah SWT agar pelaksanaan sekujang dari awal hingga akhir
berjalan dengan lancar.
Agar lebih mudah dipahami, adanya
akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi sekujang akan penulis gambarkan
dalam bentuk tabel sebagai berikut:
No
|
akulturasi Islam dan budaya lokal
|
Bentuk
Kegiatan
|
Keterangan
|
1
|
1.
Kepercayaan
memberi makan arwah akan membuat warga tenang dan tidak diganggu oleh arwah
yang ada di desa tersebut.
2.
Konsep
sedekah dalam Islam dinggap oleh warga akan menjadikan desa menjadi aman dan
menyuburkan tanaman
|
Pemberian makanan kepada anggota
sekujang saat berkeliling kerumah-rumah warga
|
|
2
|
1. kemenyan awalnya diyakini
sebagai wewangian yang disukai oleh para arwah dan media penghubung antara
para arwah dengan manusia.
2.
dalam perkembangannya kemenyan hanya digunakan
sebagai syarat yang tidak dianggap sakral lagi.
|
Membakar kemenyan pada saat kenurian
|
Kenurian adalah proses pembacaan
mantra pada sesajen yang telah disediakan
|
3
|
1. Dahulunya, Mantra dibacakan
untuk meminta izin kepada arwah yang berada di desa tersebut agar tidak
mengganggu selama proses sekujang berlangsung.
2. Mantra yang dibacakan adalah berupa doa-doa yang ditujukan
kepada Allah untuk memohon perlindungan agar prosesi sekujang berjalan
lancar.
|
Membaca mantra oleh sesepuh adat
dalam proses kenurian
|
|
Tabel 8: akulturasi
Islam dan Budaya lokal dalam tradisi Sekujang
5.
Pandangan Islam Terhadap Tradisi Sekujang
Tradisi sekujang di
desa Talang Benuang ini menurut beberapa informan merupakan suatu tradisi turun temurun dari nenek
moyang mereka pada masa sebelum Islam
masuk ke Bengkulu. Dari beberapa kegiatan dalam pelaksanaan sekujang ini juga masih bisa
diidentifikasi adanya bentuk kepercayaan kepada arwah-arwah leluhur seperti
adanya kegiatan membakar kemenyan, menggunakan sesajen dan memberi makan para
arwah.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya Islam di daerah
setempat, maka pelaksanaan yang bersifat ritual terhadap para arwah leluhur itu
perlahan dimaknai dengan hal-hal yang berbau Islami. Ini dikarenakan dalam
Islam kepercayaan terhadap apapun selain Allah SWT adalah perbuatan syirik yang
akan merusak keimanan seseorang. Hal ini disebutkan dalam Surat Annisaa ayat
48:
¨bÎ)
©!$#
w
ãÏÿøót
br&
x8uô³ç
¾ÏmÎ/
ãÏÿøótur
$tB
tbrß
y7Ï9ºs
`yJÏ9
âä!$t±o
4
`tBur
õ8Îô³ç
«!$$Î/
Ïs)sù
#utIøù$#
$¸JøOÎ)
$¸JÏàtã
ÇÍÑÈ
“Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”[26]
Jika dalam
pelaksanaan tradisi sekujang tersebut masih tampak adanya kepercayaan terhadap
arwah leluhur itu hanya merupakan bagian dari tradisi yang kini pemaknaannya
sudah berubah kearah yang lebih islami. seperti yang tampak pada beberapa kegiatan
ini:
Pertama, dalam prosesi memberikan makanan kepada anggota sekujang
mengandung dua unsur, yakni unsur keislaman dan budaya lokal. Pemberian
makanan pada anggota sekujang ini dianggap sebagai bentuk dari budaya lokal
yang merupakan pemberian makanan terhadap arwah terputus yang tidak memiliki keturunan dan
tidak memiliki tempat. Karena
menurut mereka, arwah yang ada di desa tersebut akan tetap membutuhkan makanan, akan
membuat warga merasa aman karena tidak akan diganggu oleh arwah tersebut dan juga akan menyuburkan tanaman dan
menjadikan pohon buah-buahan berbuah lebat. Sedangkan sekarang pemaknaan kegiatan ini
telah bergeser yang dianggap sebagai bentuk sedekah dalam Islam. Mereka meyakini bahwa makanan yang diberikan kepada anggota
sekujang ini dalam ajaran Islam akan mendapatkan pahala bila diniatkan dengan
ikhlas dan Allah akan
melipatgandakannya. Hal tersebut senada dengan firman Allah SWT dalam surat
Saba ayat 39:
ö@è% ¨bÎ) În1u äÝÝ¡ö6t s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏ$t7Ïã âÏø)tur ¼çms9 4
!$tBur OçFø)xÿRr& `ÏiB &äóÓx« uqßgsù ¼çmàÿÎ=øä (
uqèdur çöyz úüÏ%κ§9$# ÇÌÒÈ
39. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan
rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan
menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang
kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang
sebaik-baiknya.”[27]
Jika anggapan masyarakat dalam budaya lokal dengan memberikan makanan
kepada arwah maka akan menyuburkan tanaman atau menjadikan pohon buah-buahan
yang ada di desa setempat tersebut menjadi lebat, maka jika dihubungkan dengan
firman allah SWT tersebut jelas bahwa bersedekah akan melapangkan rezeki
seseorang.
. Selain itu, makanan yang diberikan
kepada anggota sekujang ini kemudian didoakan bersama dengan dipimpin oleh tokoh agama setempat. Doa yang dibacakan ini merupakan doa
yang dikhususkan untuk para ruh atau arwah yang berada desa setempat agar arwah
tersebut diberikan ketenangan.
Kedua,dalam prosesi membakar kemenyan memiliki unsur
budaya lokal yang berkeyakinan bahwa kemenyan ini merupakan wewangian yang
disukai oleh para arwah dan arwah tersebut akan datang ketika kemenyan tersebut
dibakar. Sedangkan dalam Islam,
percaya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik yang akan merusak keimanan
seseorang. Namun, seiring bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang Islam dan
dalam Islam hal tersebut merupakan larangan, maka perlahan pemaknaan dalam
acara bakar kemenyan ini mulai bergeser. Kini sebagian besar masyarakat hanya
menganggap hal tersebut sebagai bagian dari tradisi saja yang tak memiliki
makna sakral lagi.
Ketiga, dalam tahap membaca mantra. Dahulu, masyarakat menganggap bahwa
mantra yang dibacakan pada saat kenurian ini merupakan dialog antara sang dukun
dengan arwah yang berada di desa tersebut. Dialog tersebut merupakan permintaan
kepada arwah untuk meminta perlindungan agar pelaksanaan sekujang berjalan
lancar. Namun, dalam perkembangannya, mantra ini dibacakan untuk meminta
perlindungan kepada Allah SWT agar pelaksanaan sekujang dari awal hingga akhir
berjalan dengan lancar. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mampu
mentransformasikan makna dalam suatu kebudayaan.
Dari beberapa uraian yang telah
dikemukakan mengenai hubungan pelaksanaan sekujang dengan Islam, penulis
berkesimpulan bahwa tradisi sekujang dalam pandangan Islam diperbolehkan, karena
pemaknaan dalam pelaksanaannya telah bergeser kearah yang lebih islami. Adapun
hal-hal yang masih tampak seperti kepercayaan terhadap arwah leluhur adalah
merupakan bentuk tradisi masyarakat yang sudah tidak dianggap sakral lagi. Kalaupun
ada masyarakat yang masih beranggapan bahwa tradisi tersebut adalah bagian dari
kepercayaan terhadap arwah leluhur, maka dengan adanya para pelestari sekujang
yang terdiri dari perangkat adat dan perangkat desa di desa Talang Benuang
dengan pengetahuan keislaman yang mendalam mereka akan menjadi agen dalam
mentranformasikan kebudayaan kearah yang Islami.
[1] Wawancara
dengan Bapak Yapani (anggota BPD dan mantan ketua adat desa
Talang Benuang), tanggal 30 Juni 2015.
[2] Buku profil
Desa Talang Benuang tahun 2014
[3] Buku Profil Desa Talang Benuang
Tahun 2014
[4] Wawancara
dengan Bapak Endang Subandi yang merupakan kepala desa Talang Benuang.
[5] Buku Profil Desa
Talang Benuang tahun 2014
[6] Buku Profil Desa Talang Benuang
Tahun 2014
[8]Buku Profil
Desa Talang Benuang tahun 2014
[9] Wawancara
dengan Bapak Yapani selaku mantan ketua adat dan anggota BPD
[10] Wawancara
dengan Bapak Endang Subandi selaku kepala desa Talang Benuang
[11]Wawancara dengan
Bapak Yapani (anggota BPD dan mantan ketua adat desa
Talang Benuang) pada tanggal 30 Juni 2015
[12]
Wawancara
dengan Bapak Endang Subandi yang merupakan kepala desa Talang Benuang
pada
tanggal 02 Juli 2015
[13]
Wawancara dengan Bapak Sanuli yang merupakan
anggota sekujang dan mantan ketua sekujang pada tanggal 02 Juli 2015
[14]
Lengguai adalah sejenis mangkok yang terbuat dari kuningan yang berisi
sirih, gambir, tembakau, kapur, dan pinang. Lengguai ini dibawa oleh orang yang
bersangkutan kepada kepala desa ketika akan melaksanakan tradisi atau adat yang
dipegang oleh masyarakat setempat. Wawancara dengan Bapak Yapani yang merupakan
anggota BPD dan mantan ketua adat desa Talang Benuang Selasa, 28 juli 2015 pukul 12.00 WIB.
[15] Wawancara
dengan Bapak Sanuli yang merupakan anggota sekujang dan mantan
ketua sekujang, pada Kamis, 02 Juli 2015 pukul 09. 20 WIB
[16] Wawancara
dengan Bapak Matzakir yang merupakan sesepuh adat desa Talang
Benuang,
pada hari Selasa, pukul 11.20 Wib.
[17] Wawancara dengan Bapak Yapani yang merupakan anggota BPD dan Mantan ketua
adat desa Talang Benuang
[26] Departemen
Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, tahun
2002.
[27] Departemen
Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya, Semarang, Toha Putra,
tahun 2002. Hal. 432