Sabtu, 19 Agustus 2017

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI SEKUJANG

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI SEKUJANG DI DESA TALANG BENUANG, KECAMATAN AIR PERIUKAN, KABUPATEN SELUMA, BENGKULU
Oleh : Fifih Nurlatifah, S. Hum



A.      Deskripsi Wilayah Desa Talang Benuang
1.    Sejarah Singkat Desa Talang Benuang
         Penamaan desa Talang Benuang tidak lepas dari legenda yang beredar di masyarakat. Menurut salah satu informan dahulu kala, ada sebuah desa yang sering disebut oleh orang setempat sebagai talang. Desa tersebut sangat subur, bermacam  jenis tumbuhan dapat tumbuh di desa itu. Ada satu jenis pohon besar yang biasanya hanya tumbuh didaerah yang memiliki kadar kecuraman yang dalam,  namun pohon tersebut dapat tumbuh di desa itu, yakni pohon benuang. Pohon benuang yang berada di desa tersebut diperkirakan berdiameter lima meter sehingga orang-orang desa tersebut dapat menjadikan pohon tersebut sebagai rumah tempat berlindung. Namun, dalam waktu yang cukup lama pohon tersebut rubuh dan akhirnya desa tersebut dinamai desa Talang Benuang, yang berarti desa pohon benuang.[1]
34
Desa Talang Benuang awalnya adalah merupakan desa pindahan dari dusun Talang Benuang  yang terletak di daerah Desa Talang Giring dan desa Padang Capo yang dikepalai oleh depati. Desa Talang Benuang dipindahkan pada tahun 1975 karena terjadi tanah longsor yang mengakibatkan 9 orang meninggal dunia termasuk depatinya yang bernama Matserip beserta keluarganya. Setelah itu ditunjuklah depati Basri selaku PJS depati Talang Benuang Oleh Pasirah marga Andalas Bapak Apan Dijana. Pada tahun 1980 depati Talang Benuang digantikan oleh Simanudin, tahun 1983 dipimpin oleh depati Bustami Yunus. Awalya Sumber Rukun dan Sumber Rejo masuk ke desa Sukaraja, namun pada tahun 1985 bergabung ke desa Talang Benuang. Pada tahun 1990 diadakan pemilihan kepala desa secara langsung dengan dua orang kandidat, yakni Suparman dan Bustami Yunus yang kemudian dimenangkan oleh Suparman. Pada tahun 2000 terjadi gempa dengan kekuatan 7,3 SR yang mengakibatkan banyak rumah penduduk dan sarana prasarana desa yang rusak parah dan ringan.[2]
2.    Letak Geografis
Desa Talang Benuang merupakan daerah pemekaran wilayah Seluma yang  dahulunya tergabung di Kecamatan Sukaraja. Dengan adanya keputusan peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 12 tahun 2007 tanggal 12 Maret tahun 2007, maka desa Talang Benuang sekarang tergabung dalam Kecamatan Air Periukan Kabupaten Seluma. Desa Talang Benuang memiliki keanekaragaman dan perbedaan keyakinan agama yang dianut masyarakatnya seperti agama Islam, Kristen, dan Hindu. Walaupun mempunyai perbedaan keyakinan, masyarakat Talang Benuang mampu hidup tenggang rasa, toleransi tinggi, rukun, tentram dan damai.
Luas wilayah desa Talang Benuang keseluruhan seluas 712 ha/m2. Adapun batas wilayah Desa Talang Benuang dengan Desa tetangga sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit Peninjauan II  Kecamatan Sukaraja, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lubuk Sahung Kecamatan Air Periukan, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukamaju kecamatan Air Periukan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Lokasi Baru Kecamatan Air Periukan.

No

Arah Wilayah Desa

Batas Dengan Wilayah Tetangga
1
Sebelah Utara
Bukit Peninjauan II
2
Sebelah Selatan
Lubuk Sahung
3
Sebelah Timur
Sukamaju
4
Sebelah Barat
Lokasi Baru
              Tabel 1: Letak geografis
3.      Jumlah Penduduk
Berdasarkan data yang telah diperoleh dari buku profil desa tahun 2014.[3] Masyarakat Talang Benuang berjumlah 1542 jiwa terdiri dari laki-laki berjumlah 799 jiwa, dan perempuan berjumlah 743 jiwa serta kepala keluarga berjumlah 448 jiwa.
Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk
Laki-laki
799 jiwa
Perempuan
743 jiwa
Total
1542 jiwa
Tabel 2: Jumlah penduduk
4.      Etnisitas Penduduk
Menurut keterangan dari kepala desa Talang Benuang, jumlah warga di desanya didominasi oleh suku Serawai yang merupakan penduduk asli desa Talang Benuang. Suku Serawai ini mencapai 70%.  Kemudian sebagian lain terdiri dari para pendatang yang sebagian besar merupakan pendatang dari Bali yang jumlahnya mencapai 25%, sedangkan 5% sisanya merupakan warga pendatang dari berbagai suku diantaranya Sunda, Jawa, Madura, dan lain-lain.[4]
5.      Kelompok Usia
Adapun jumlah penduduk Desa Talang Benuang berdasarkan usia dapat di kelompokan menjadi 15 kelompok dengan komposisi usia 0-12 bulan berjumlah 31 jiwa, usia 1-5 tahun berjumlah 144 jiwa, usia 6-10 tahun 98 jiwa, usia 11-15 tahun berjumlah 108 jiwa, usia 16-20 tahun berjumlah 150 jiwa, usia 21-25 tahun berjumlah 113 jiwa, usia 26-30 tahun berjumlah 131 jiwa, usia 31-35 tahun berjumlah 116 jiwa, usia 36-40 tahun berjumlah 125 jiwa, usia 41-45 tahun berjumlah 112 jiwa, usia 46-50 tahun berjumlah 131 jiwa, usia 51-55 tahun berjumlah 84 jiwa, usia 56-60 tahun berjumlah 73 jiwa, usia 61-65 tahun berjumlah 62 jiwa, usia 66-95 berjumlah 47 jiwa.
Usia
Laki-Laki
Perempuan
0-12  bulan
17 jiwa
14 jiwa
1-5 tahun
63 jiwa
81 jiwa
6-10 tahun
35 jiwa
63 jiwa
11-15 tahun
49 jiwa
59 jiwa
16-20 tahun
76 jiwa
74 jiwa
21-25 tahun
59 jiwa
54 jiwa
26-30 tahun
61 jiwa
70 jiwa
31-35 tahun
62 jiwa
54 jiwa
36-40 tahun
59 jiwa
66 jiwa
41-45 tahun
75 jiwa
37 jiwa
46-50 tahun
83 jiwa
48 jiwa
51-55 tahun
47 jiwa
37 jiwa
56-60 tahun
36 jiwa
37 jiwa
61-65 tahun
35 jiwa
27 jiwa
66-95 tahun
29 jiwa
18 jiwa
Tabel 3: kelompok usia
6.        Mata pencaharian
Berdasarkan buku profil desa  tahun 2014,  masyarakat Desa Talang Benuang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mata pencaharian di antaranya petani, buruh tani, buruh migran, pegawai negeri sipil, pengrajin indusrti rumah tangga, pedagang keliling, peternak, montir, pengusaha kecil dan menengah,  karyawan perusahaan swasta dan pemerintah.[5]
Jenis Pekerjaan
Laki-Laki
Perempuan
Petani
650 jiwa
600 jiwa
Buruh tani
120 jiwa
150 jiwa
Buruh migran
1 jiwa
2 jiwa
Pegawai negeri sipil
5 jiwa
-
Pengerajin industri
2 jiwa
-
Pedagang keliling
7 jiwa
4 jiwa
Peternak
95 jiwa
25 jiwa
Montir
2 jiwa
-
Pembantu rumah tangga
-
5 jiwa
Pensiunan PNS
1 jiwa
-
Pengusaha kecil
5 jiwa
-
Dukun
1 jiwa
2 jiwa
Karyawan perusahaan swasta
-
1 jiwa
Karyawan perusahaan pemerintah
25 jiwa
-
              Tabel 4: Mata pencaharian
7.      Keagamaan
Penduduk Desa Talang Benuang yang jumlahnya 1542 jiwa menganut tiga keyakinan kegamaan yakni Islam, Kristen, dan Hindu. Masyarakat yang menganut keyakinan agama Islam berjumlah 1224 jiwa sedangkan yang menganut agama Kristen berjumlah 18 jiwa, menganut keyakinan Hindu berjumlah 300 jiwa. [6]
Agama
Laki-Laki
Perempuan
Islam
649 jiwa
575 jiwa
Kristen
7 jiwa
11 jiwa
Hindu
143 jiwa
157 jiwa
              Tabel 5: Keagamaan
8.      Pendidikan
Pendidikan masyarakat Desa Talang Benuang masih sangat memperihatinkan. Penduduknya masih banyak yang belum mengenyam bangku sekolah itu terbukti pada  catatan di buku profil desa. [7] Pada usia 7-18 tahun laki-laki 47 dan perempuan 78 jiwa dan usia 18-56 tahun laki-laki berjumlah 62 jiwa, perempuan 76 jiwa tidak pernah bersekolah. Dan jumlah tamatan sekolah dasar yang mendominasi pendidikan terakhir masyarakat Desa Talang Benuang. Adapun rincian tingkatan pendidikan di Desa Talang Benuang, tamatan SD berjumlah 251 jiwa, SLTP berjumlah 138 jiwa, SMA berjumlah 79 jiwa, D2 berjumlah 1 jiwa, S1 berjumlah 7 jiwa S2 berjumlah 2 jiwa.
Tingkatan Pendidikan
Laki- Laki
Perempuan
SD
159 jiwa
92 jiwa
SLTP
81 jiwa
57 jiwa
SLTA
45 jiwa
34 jiwa
D2
1 jiwa
-
S1
7 jiwa
-
S2
2 jiwa
-
              Tabel 6: Pendidikan
9.      Perkantoran dan Fasilitas Desa
Desa Talang Benuang merupakan desa yang sudah memiliki berbagai sarana dan fasilitas desa. Sarana pendidikan, agama, kantor desa, olah raga, dan sarana umum seperti pasar dan angkutan  umum.[8]
Fasilitas
Jenis
Jumlah
Kantor desa
Balai desa
1unit
Kesehatan
Puskesmas
1 unit
Pendidikan
TK
SD
1 unit
1 unit
Olah raga
Lapangan volly
1 unit

Umum
Pasar
Truck umum
Telepon umum
1 unit
10 unit
1 unit
keagamaan
Masjid
Mushola
1unit
2 unit
Tabel 7: perkantoran dan Fasilitas Desa

10.  Tradisi dan Seni Budaya
Desa Talang Benuang memiliki keanekaragaman tradisi atau adat istiadat. Tidak hanya tradisi Sekujang yang dilestarikan, akan tetapi masih banyak tradisi atau adat istiadat  yang ada di Talang Benuang  yang masih sampai saat ini dilestarikan kegiatannya. Jenis-jenis tradisi dan kebudayaan yang ada di desa Talang Benuang adalah sebagai berikut:
a.        Tradisi Tari Adat
Tradisi tari adat merupakan tarian yang ditampilkan pada saat acara pernikahan. Menurut keterangan ketua adat desa Talang Benuang, yang dimaksud ialah tari Andun, tari piring  dan  Pencak silat. Masyarakat Talang Benuang melakukan tarian ini setelah acara akad nikah selesai, biasanya pasangan pengantin juga mengikuti tari andun dan pencak silat. Pada saat menari, diiringi dengan tabuhan rebana, kelintang dan alunan serunai. Adapun tujuan dari tradisi ini untuk  melestarikan dan menjaga adat istiadat lokal yang ada pada masyarakat Talang Benuang.[9]
b.      Tradisi Nigo dan Nujuah Aghi (tiga dan tujuh hari kematian)
Tradisi nigo dan nujuah aghi telah lama dilakukan oleh masyarakat Talang Benuang secara turun temurun. Tradisi nigo dan nujuah aghi oleh masyarakat Desa Talang Benuang dikenal dengan nama tradisi nyudahi. Proses tradisi ini diawali dengan sholat berjama’ah di rumah  ahli musibah dan dilanjutkan dengan  pembacaan yasin dan diakhiri dengan berdo’a. Dipenghujung acara sepokok rumah menggelar jamuan bertujuan untuk memberikan rasa dan ucapan terima kasih kepada masyarakat yang telah hadir guna menghibur ahli rumah yang lagi terkena musibah, supaya mereka mendapatkan dorongan atau semangat setelah ditinggal oleh anggota keluarga yang dicintainya.
c.        Tradisi Sedekah Nasi Kunyit
Masyarakat Desa Talang Benuang memiliki kebiasaan pada saat menempati rumah baru yang telah selesai dibangun untuk ditempati, sebelum menepati rumah baru masyarakat Talang Benuang menggelar tradisi berupa sedekah nasi kunyit. Umumnya tradisi ini menggunakan punjung atau nasi kunyit dan hidangan lainnya seperti kue, nasi putih dan sayur lainnya. Adapun tujuan melakukan tradisi ini supaya orang yang memiliki rumah baru, pada saat menempati rumah dan membangun rumah tangga diberikan kemurahan rezeki, rasa aman dan tentram ketika menempati rumah baru.[10]
d.      Tradisi Minta Do’a malam takbir (minta du’a malam takbir)
Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Talang Benuang pada saat malam satu Syawal tiba. Pada malam itu masyarakat Talang Benuang secara bergantian dari rumah ke rumah untuk berdo’a dan takbiran bersama. Setelah usai melakukan takbiran bersama dan berdoa, sepokok rumah menyediakan jamuan sebagai wujud syukur telah melaksanakan rukun Islam yang ketiga. Tradisi ini lazim disebut dengan tradisi minta dua’ malam takbir.
B.     Hasil Penelitian Pembahasan

1.         Legenda-Legenda Sekujang

Tradisi sekujang yang hingga kini bertahan dan tetap dilestarikan oleh masyarakat desa Talang Benuang berangkat dari beberapa legenda yang mereka yakini. Legenda tersebut tidak hanya satu legenda saja, melainkan ada beberapa legenda yang peneliti temukan, yakni sebagai berikut:
Legenda pertama:
Diperkirakan sekitar abad 16 M, sebelum Islam masuk ke Bengkulu, ada dua orang bersaudara yang tinggal disebuah ladang yang letaknya jauh dari pemukiman warga di satu desa yang dikenal dengan nama Temedak Rimbo Jauh. Mereka mencari penghidupan dengan cara menanam bermacam-macam sayuran dan buah-buahan ditempat mereka tinggal. Namun, dalam waktu yang sangat lama apa yang ditanam tak kunjung mereka tuai hasilnya.
Tersebutlah seorang dukun tempat mereka meminta saran. Mereka menanyakan sebab apa yang membuat tanaman mereka tak menghasilkan. Dukun tersebut menjawab karena mereka memiliki kesalahan, yakni tidak mendoakan arwah terputus yang ada di dusun tersebut. Kemudian dua bersaudara tersebut menanyakan kembali kepada dukun tersebut tentang apa yang harus mereka lakukan. Dukun tersebut memberikan saran agar mereka melakukan Sekujang, yakni keliling kerumah-rumah warga dengan meminta makanan yang kemudian didoakan khusus untuk arwah terputus. Namun dua orang tersebut merasa keberatan untuk melakukan hal yang disarankan oleh Sang dukun. Selain karena jarak tempat mereka tinggal jauh dari pemukiman warga, juga karena mereka merasa bukan hal mudah untuk meminta makanan pada warga. Dukun tersebut kemudian kembali memberikan saran kepada dua bersaudara dengan menganjurkan untuk keliling rumah warga dusun meminta kue dan sebagai imbalannya mereka harus menghibur warga tersebut dengan melakukan apa yang warga inginkan, seperti melantunkan pantun, bernyanyi dan lain-lain. Saran tersebut diterima oleh dua orang bersaudara dan mereka laksanakan hingga tradisi tersebut secara turun-temurun dilaksanakan oleh warga setempat.[11]
Legenda kedua:
Cerita tentang sekujang ini prakarsai oleh Jamil dan Ginggang ketika pendirian kampung Bengkulu pada zaman Hindu-Budha. Sekujang di mulai pada saat ada satu pohon besar yang di sebut pohon Kluntum Sakti, pohon ini dikuasai oleh bangsa jin atau makhluk halus. Tokoh kampung pada saat itu berniat untuk menebang pohon Kluntum Sakti ini, kemudian beberapa kali di tebang tidak berhasil roboh, pada saat itulah terjadi dialog antara tokoh kampung dan makhluk halus penunggu pohon Kluntum Sakti. Dialog antara tokoh masyarakat (Besira Emas) dan penghuni pohon Kluntum Sakti itu menghasilkan perjanjian (janji semanyo) antara mahluk halus dan tokoh kampung.
Isi perjanjiannya adalah pohon Kluntum Sakti tersebut bisa di tebang asalkan tokoh kampung menyediakan tumbal sejumlah 40 orang bujang dan 40 orang gadis dan tokoh kampungpun menyanggupi perjanjian tersebut. Ketika hari perjanjian tiba, tokoh kampung mengumpulkan 40 bujang 40 gadis untuk dijadikan tumbal, dan 40 bujang 40 gadis ini disusun mengelilingi pohon Kluntum Sakti tapi oleh tokoh kampung sudah membuatkan parit disekeliling tempat 40 bujang 40 gadis untuk dijadikan perlindungan ketika pohon Kluntum Sakti di tebang.
Sebelum pohon itu ditebang tokoh kampung memberikan pengarahan kepada 40 bujang dan 40 gadis ketika nanti pohon Kluntum Sakti roboh semuanya harus terjun ke dalam parit (siring) yang sudah dibuat sebelumnya. Ketika pohon ditebang dan roboh semua 40 bujang dan 40 gadis terjun ke dalam parit (siring) dan pada waktu itu semua calon tumbal terkejut  dan pohon kluntum sakti tidak menimpa atau memakan satu calon  tumbalpun. Pada saat itu lahirlah adat bumi mangkuto atau adat Serawai. Sadar bangsa jin tertipu oleh tokoh kampung dan mahluk halus penunggu pohon Kluntum Sakti marah pada bangsa manusia. Lalu mereka menampakan wujud yang menakutkan (antu-antu) dan wujud inilah yang diyakini bangsa manusia yang sering menakut-nakuti, menggangu anak-anak dan orang dewasa.[12]
Legenda ketiga:
Dahulu kala ada seorang pemuda. Dia adalah anak yang soleh, baik kepada orang tua maupun tetangganya. Suatu hari, ayah dan ibunya dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Ia menjadi anak yatim piatu, namun ia masih berlaku baik kepada para tetangga. Ia masih sering berderma dan membantu para tetangga yang memang membutuhkan bantuan. Pada suatu hari, ia bercocok tanam. Ia menanam banyak sekali tanam tanaman. Ia menanam padi, pohon buah-buahan dan sebagainya. Namun ia sedang diuji, padi yang ia tanam namun rerumputan yang tumbuh, pohon buah buahan yang ia tanam semuanya mati. ujiannya tak hanya berlangsung satu kali atau dua kali. Tapi hampir selama tujuh tahun, ia tetap diuji dengan nasib yang selalu tak baik. Sebagai manusia biasa akhirnya ia pasrah, ia lalu meninggalkan tempat tinggalnya. Sebelum ia pergi, ia berpesan agar semua tanamannya yang ia tanam jika membuahkan hasil, hasilnya disedekahkan untuk para fakir miskin.
Suatu keanehan terjadi ketika ia meninggalkan desa itu, padi yang ia tanam dan tumbuh jadi rumput berubah menjadi padi yang sangat subur dan berbuah yang sangat banyak. Pohon buah-buahan yang selama ini ia tanam lalu mati, tiba-tiba jadi tumbuh dan berbuah sangat lebat, buahnya sangatlah ranum. Para warga desa lalu berusaha mencari sang bujang ini dengan berkata “Jang....Bujang!!”. Namun sang bujang tak ditemukan lagi. Itulah kenapa dilaksanakan sekujang, yakni untuk mengenang kebaikan si bujang ini.[13]
2.         Prosesi Tradisi Sekujang
a.    Persiapan
Adapun tahap-tahap persiapan yang dilakukan sebelum sekujang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1)      Pamit atau meminta izin kepada Kepala Desa
Pada proses pertama ini ketua adat meminta izin kepada Kepala Desa dan menanyakan apakah pada tahun tersebut desa Talang Benuang akan melaksanakan Sekujang atau tidak. Selain itu hal yang jadi perbincangan antara ketua adat dan kepala Desa dalam proses ini yakni membagi wilayah mana saja yang akan melaksanakan sekujang. Ketua adat datang meminta izin kepada Kepala Desa dengan membawa lengguai[14] yang menjadi media komunikasi atau media meminta izin. setelah mendapatkan izin dari Kepala Desa kemudian dilanjutkan pada proses selanjutnya adalah rapat.

2)      Rapat penentuan anggota sekujang
Biasanya rapat ini dilaksanakan seminggu menjelang Idul Fitri. Dalam rapat ini ditentukan siapa-siapa saja yang akan menjadi anggota sekujang. Anggota sekujang tidak dibatasi secara pasti jumlahnya, namun hanya diperkirakan oleh ketua sekujang apakah cukup dengan jumlah tertentu atau tidak. Hal tersebut berimbas pada sulitnya mengkordinir anggota sekujang jika terlampau banyak, karena bukan saja orang dewasa dan remaja yang ikut menjadi anggota sekujang, anak-anak juga ada yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota sekujang. Menurut kepala desa Talang Benuang anggota sekujang pada tahun ini mencapai 50 orang lebih.    
Tidak ada ketentuan khusus untuk menjadi anggota sekujang, hanya kesanggupan melaksanakan dan mengikuti prosesi dari awal hingga berakhir. Karena tidak mudah menjadi anggota sekujang yang menggunakan pakaian berbahan ijuk yang diikatkan kebadan dan berjalan mengelilingi kampung selama sekitar 8 jam.[15]
3)      Latihan tari adat
Pada proses pelaksanaan sekujang akan ditmpilkan tari adat sebelum seluruh anggota sekujang berkeliling kerumah-rumah warga. Karena itu, sebelumnya mereka akan melakukan latihan tari adat, terutama bagi mereka yang baru menjadi anggota sekujang. Adapun tarian yang biasanya ditampilkan adalah tari piring, tari andun dan pencak silat.
4)      Bebalut (menggunakan pakaian khas Sekujang)
Anggota sekujang akan menggunakan pakaian menjadi tiga macam antu-antu atau sakura. Yang menurut Bapak Matzakir tiga macam tersebut adalah antu-antu atau sekura yang terbuat dari ijuk, yang terbuat dari gegisiak dan sekura tino.[16] Pada proses ini banyak bahan atau kelengkapan yang harus disiapkan, yakni sebagai berikut:
a)        Tali rapia
Digunakan untuk mengikatkan ijuk, daun pisang kering dan bahan lain kebadan anggota sekujang hingga menutup anggota badan.
b)      Ijuk
Digunakan untuk menutup badan anggota sekujang yang kemudian disebut antu-antu.
c)      Daun pisang kering (gegisiak)
Guna daun pisang kering ini sama dengan ijuk, yakni menutup badan anggota sekujang untuk membentuk antu-antu.

d)     Pelepah pinang (upiah)
Pelepah pinang atau upiah yang telah dibentuk menyerupai wajah hantu sebagaimana keyakinan warga setempat. Ini digunakan sebagai topeng oleh salah satu anggota sekujang.
e)      Topeng
Topeng ini diyakini oleh masyarakat sebagai bentuk antu-antu. Topeng yang digunakan ini memiliki bentuk yang bermacan-macam seperti bentuk gorila, bentuk wajah yang berlumuran darah atau bentuk lain yang menyeramkan.
f)       Baju daster
Baju daster ini digunakan oleh anggota sekujang sebagai bentuk antu-antu perempuan, yang diyakini oleh masyarakat bahwa orang yang meninggal tanpa keturunan atau arwah terputus ada yang berjenis kelamin perempuan. Bentuk antu-antu ini biasanya dipercaya oleh masyarakat sebagai arwah wanita yang meninggal dalam keadaan hamil atau meninggal karena melahirkan.
g)      Baju kebaya
Bentuk antu-antu yang menggunakan baju kebaya ini sama seperti antu-antu yang menggunakan baju daster yang diyakini sebagai wujud arwah perempuan yang meninggal tidak wajar.

5)      Kenurian (mendoa’kan/membacakan mantra pada sesajen)
Proses kenurian ini dilaksanakan ketika proses bebalut telah selesai dilaksanakan. Pada proses ini seorang dukun akan membacakan mantra pada sesajen yang telah disiapkan seperti tenggek ayam, dan air campuran jeruk nipis. Tenggek ayam yang telah didoakan ini hanya sebagai simbol makanan para arwah terputus yang kelak akan dibagikan pada sesepuh adat dan perangkat desa. Sedangkan air campuran jeruk nipis akan diberikan kepada seluruh anggota sekujang yang biasanya diminum atau hanya dipercikkan pada anggota sekujang. Dalam proses kenurian ini ada beberapa macam yang harus disiapkan, yakni sebagai berikut:
a)       Tenggek ayam
Tenggek ayam ini terdiri dari nasi kunyit (punjung) yang terbuat dari ketan yang diatasnya diletakkan ayam dusun (ayam kampung) yang telah dimasak.
Adapun proses pembuatan tenggek ayam adalah sebagai berikut:
Punjung (nasi kuning) yang berbahan dasar beras ketan, kunyit dan santan. Beras ketan dibersihkan terlebih dahulu, lalu dimasukkan ke dalam panci (periuk), kemudian kunyit dibersihkan lalu digiling, serta dicampur ke dalam santan kelapa, setelah itu dimasukan kedalam panci bersamaan dengan beras ketan yang telah dibersihkan, lalu dimasak dan tunggu sampai matang, angkat lalu diletakkan diatas talam yang sudah disediakan.
Ayam dusun (ayam kampung) dipotong lalu dibersihkan, setelah itu di masak di dalam kuali (belango) dengan campuran santan kelapa dan bumbu-bumbu lain sampai kering, setelah kering ayam diangkat dan diletakkan di atas punjung yang sudah disiapkan.
b)      Air dengan jeruk nipis
Air  ini diletakkan dalam satu wadah yang harus cukup untuk seluruh anggota sekujang. Air putih ini dianggap sakral dalam proses kenurian, karena setelah proses kenurian berlangsung air campuran jeruk nipis ini akan dibagikan kepada para anggota sekujang untuk diminum atau hanya dipercikkan kepada seluruh anggota sekujang. Menurut beberapa anggota sekujang, jika proses kenurian ini benar-benar berhasil, setelah meminum atau dipercikkan air campuran jeruk nipis tersebut pelaksanaan sekujang yang membutuhkan waktu yang cukup lama dengan pakaian yang sangat membuat anggota sekujang tidak nyaman akan terasa ringan dan takkan terbeban sama sekali.


c)      Juang Abang
Juang abang adalah sejenis tumbuhan yang dalam proses kenurian ini dignakan untuk menyipratkan air campuran jeruk nipis pada seluruh anggota sekujang.
d)     Kemenyan dan dupa
Dupa biasanya dibuat dari tempurung kelapa yang digunakan untuk membakar kemenyan saat proses kenurian berlangsung. Kemenyan ini digunakan sebagai media penghubung antara arwah terputus dengan manusia. Namun, seiring perkembangan zaman kemenyan dan dupa ini sudah tidak memiliki makna sakral lagi dan hanya sebagai syarat dalam pelaksanaan sekujang.
b.      Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan ini ada beberapa hal yang dilaksanakan, yakni:
1)   Pengarahan
Sebelum anggota sekujang dilepas untuk keliling kerumah-rumah warga, mereka terlebih dahulu mereka akan mendapatkan pengarahan dari ketua adat dan perangkat desa setempat. Pengarahan tersebut yakni tentang larangan mengganggu anak-anak, warga dan pendatang dengan cara menakut-nakuti. Mereka hanya diharuskan untuk keliling rumah warga untuk meminta kue dan menghibur warga setempat. dalam tahap ini juga ketua adat atau kepala desa akan menjelaskan perihal tradisi sekujang, baik itu sejarah, tujuan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dilestarikannya tradisi sekujang di desa tersebut. Dan dalam kesempatan ini juga ketua adat atau kepala desa menggunakan momentum ini untuk mengajak seluruh anggota masyarakat untuk melestarikan tradisi yang telah diturunkan oleh sesepuh mereka sampai saat ini.
2)      Tari Adat
Setelah mendapatkan pengarahan, maka anggota sekujang dipersilakan untuk menarikan tari adat yang biasanya berupa tari andun, tari piring, pencak silat dan lain-lain. Dalam proses ini, biasanya ada seseorang yang telah diberi tugas untuk menjelaskan bahwa selain tradisi sekujang, mereka juga memiliki tradisi berupa tarian yang mereka lestarikan. Tarian ini juga bisanya diiringi dengan alat musik yang berupa rebana dan kulintang yang kemudian kedua alat musik ini akan digunakan juga ketika proses keliling meminta kue kerumah warga.
3)      Keliling meminta kue kerumah warga
Anggota sekujang keliling kampung meminta makanan pada warga setempat dengan pemberian yang sukarela. Makanan tersebut dibungkus kemudian diletakkan oleh warga kedalam keranjang yang dibawa oleh anggota sekujang. Sebagai imbalannya, anggota sekujang harus melakukan apa yang menjadi permintaan warga seperti membacakan pantun, bernyanyi maupun berjoged. Bahkan terkadang ada juga warga yang meminta supaya cepat dapat jodoh dan meminta obat supaya disembuhkan dari penyakit yang diderita. Jika ada permintaan warga yang demikian, maka salah satu anggota sekujang yang telah ditunjuk berperan sebagai dukun akan mengambil daun dari tempat sekitar dan membacakan doa kemudian daun tersebut diberikan pada warga yang meminta.
Ketika anggota sekujang keliling rumah warga untuk meminta kue, ada seorang yang bertugas untuk membacakan pantun, adapun macam-macam pantunnya adalah sebagai berikut:
Jang Sekujang anai-anai bawa batang
Betutup daun bulua
Anak muanai banyak datang
Ado seratus tigo pulua

Kepaliak nguggur kelintang
Ditengah jalan ke tanggo raso
Mangko kami tughun Sekujang
Rerayo bulan puaso

Buah teghung mereliak’an
Buah perenggi tepi umo
Bejujung bekiliak’an
Lum bae datang galo

Tang sibo tatang
Batang pelawi timbul tenggelam
Sangkan kami lambat datang
Dusun jauh bulan bekelam

Kangkung basah-basah
Pemudiak aik pendalam
Jangan ibung susah payah
Kami ido ka temalam


Amon putia katoka putia
Putia sekali bungo melur
Amo bulia kiciaka bulia
Ido bulia kami ndak undur

Serindit terbang tengaghi
Duo sekawan burung terkuku
Alaka keghit guma ini
Munika kue baling tungku

Sapu tangan jatua kelaut
Panci bujang periasan
Panjang tangan kami menyambut
Kasia ibung ido kebalasan.

Terjemahan:

Jang sekujang rayap membawa batang
Ditutup daun bambu
Sanak keluarga banyak datang
Ada seratus tiga puluh

Kepalik mukul kelintang
Ditengah jalan ke tangga rasa
Alasan kami melaksanakan sekujang
Karena hari raya setelah bulan puasa

Buah terong terlihat banyak
Buah labu tepi ladang/sawah
Disimpan diatas digendong
Belum saja datang semua

Tang sibo tatang
Pohon pelawi timbul tenggelam
Alasan kami terlambat datang
Karena dusun jauh bulanpun gelap

Kangkung basah-basah
Pamudiak air pendalam
Janganlah bibi susah payah
Kami tidak akan menginap

Burung serindit terbang tengah hari
Dua sekawan burung tekukur
Sangatlah pelit rumah ini
Menyembunyikan kue dibelakang tungku

Kalau putih katakan putih
Sangatlah putih bunga melur
Kalau boleh katakan boleh
Kalau tidak boleh kami undur diri

Sapu tangan jatuh kelaut
Sifat anak muda/pemuda
Kami menyambut dengan senang hati
Kasih bibi tidak terbalas

4)      Berdoa’ di masjid
Setelah anggota sekujang keliling kerumah-rumah warga meminta makanan, mereka beserta perangkat desa dan para sesepuh berangkat ke sebuah masjid dengan membawa makanan yang mereka dapatkan dari warga setempat. Setelah itu, makanan yang mereka dapatkan dikumpulkan untuk kemudian didoakan. Doa yang dibacakan oleh orang-orang yang hadir di masjid tersebut di khususkan untuk arwah terputus, yakni orang yang meninggal tidak memiliki keturunan. Warga setempat mempercayai bahwa orang yang meninggal tidak memiliki keturunan masih tetap butuh untuk didoakan, sedangkan mereka tidak memiliki keturunan atau keluarga yang akan mendoakan mereka. Oleh karena itu warga setempat mengkhususkan doa tersebut untuk arwah yang terputus agar mendapat ketenangan. Pembacaan doa ini dipimpin oleh tokoh agama yang telah ditunjuk oleh panitia sekujang. Dalam proses ini biasanya membacakan surat Al-Fatihah bersama yang dikhususkan untuk arwah terputus yang berada di desa tersebut. Kemudian membacakan doa selamat dan lain-lain.
5)      Makan makanan bersama
Setelah doa bersama, makanan yang terkumpul kemudian dimakan bersama-sama oleh anggota sekujang, perangkat adat, perangkat desa, sesepuh desa dan masyarakat yang hadir dalam doa bersama tersebut. Jika makanan yang tersedia masih bersisa, maka makanan tersebut akan dibagikan kepada seluruh orang yang hadir di masjid dan dibawa pulang. 
3.         Faktor Penghambat dan faktor Pendukung Keberlangsungan Sekujang
a.       Faktor penghambat
Dalam setiap jenis kebudayaan, terutama tradisi acapkali memiliki beberapa hambatan. Baik itu dari dalam maupun dari luar tradisi tersebut.
Begitu juga dengan tradisi sekujang ini, kehidupan masyarakat yang semakin modern seiring kemajuan tekhnologi yang semakin canggih menjadikan adanya anggapan masyarakat terutama kaum muda bahwa sekujang sudah tidak menarik untuk dilaksanakan. Menurut sebagian mereka hiburan atau acara yang berbau tradisional semacam ini akan lebih praktis jika digantikan dengan hiburan-hiburan lain yang lebih modern seperti organtunggal dan lain-lain. Seperti yang dikemukakan oleh Yapani ketika diwawancarai:
“Anak muda zaman sekarang udah gak mau ngurusin hal-hal tradisional, bagi mereka zaman sekarang sudah modern. Jadi kalau hiburan lebih baik main organtunggal saja.”[17]
   Hal senada disampaikan oleh anggota sekujang, Sanuli:
“Anak-anak di desa ini sudah kami kenalkan dengan sekujang, biar mereka terbiasa. Karena anak muda sekarang kebanyakan sudah tidak peduli dengan kebudayaan yang ada, apalagi sekujang ini pelaksanaannya susah dan lama, mereka lebih senang hadir pada acara yang ada organ tunggalnya.”

Hal seperti ini dianggap oleh para pelestari sekujang sebagai hambatan yang bisa merusak bahkan menghentikan proses pelestarian budaya. Karena justru kaum mudalah yang diharapkan mampu menjadi penerus dalam usaha pelestarian budaya setempat, jika kaum muda sudah tidak peduli dengan adanya kebudayaan yang ada di daerahnya, maka mereka akan kehilangan identitas mereka.
Selain itu, pelaksanaan sekujang yang hanya setiap satu tahun sekali ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat baik dari dalam maupun luar desa setempat. Tak sedikit warga yang berdatangan untuk mengikuti prosesi sekujang, hingga desa Talang Benuang kerapkali dipadati oleh pengunjung. Dalam situasi yang seperti inilah konflik bisa dengan mudah terjadi dan keamanan-pun akan terancam. Petugas keamanan yang telah ditugaskan tidak sebanding dengan pengunjung yang hadir. Hal ini terkadang menjadi pertimbangan bagi pemerintah desa untuk tidak melaksanakan sekujang, karena khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Kalau lagi ada sekujang tu, desa ni penuh dengan orang yang mau nonton. Kadang tu bemotor, bemobil, sampai jalan ni susah mau lewat. Kalau la banyak orang tu kadangan ado-ado bae yang jadi masalah, tulah makanya kadang perangkat adat bingung mau melaksanakan sekujang apa enggak, karena takut kan..”.[18] Ujar Bapak Yapani ketika diwawancarai.

Selain itu, yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sekujang ini adalah dana. Karena tak dapat dipungkiri bahwa setiap kegiatan akan membutuhkan dana. Seperti ungkapan kades Talang Benuang ketika diwawancarai:
“Kita ni nggak bisa ngelak, karena memang setiap kegiatan pasti membutuhkan dana. Tinggal kitanya lagi aja yang ngatur darimana kita bisa mendapatkan dana tersebut”.

b.      Faktor pendukung
Selain adanya faktor penghambat, dalam pelestarian ini juga memiliki faktor pendukung. Masyarakat desa Talang Benuang didominasi oleh suku Serawai yang merupakan suku asli desa tersebut. Mereka hidup dengan menggunakan hukum adat yang sangat dipatuhi oleh semua kalangan. Mereka memegang teguh tradisi. Tradisi nenek moyang mereka akan mereka pertahankan dan terus dilaksanakan, seperti tradisi sekujang ini merupakan tradisi yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh warga setempat, dan adanya keyakinan  masyarakat jika tidak melaksanakan sekujang akan terjadi bencana. Seperti ungkapan dari salah satu warga desa Talang Benuang:
“Sekujang ni la tradisi, nido pacak amo nido dikerjoka. Amo nido dikerjoka ado-ado bae bala kelo tu. Kadangan pohon-pohon tu nido bebuah.”

“Sekujang ini sudah menjadi tradisi, tidak bisa jika tidak dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan ada saja kesialan yang terjadi. Kadang pohon-pohon tidak berbuah”.

Faktor inilah yang menjadikan tradisi sekujang terus bertahan dan dipertahankan oleh warga setempat.
Selain itu, yang menjadi faktor pendukung keberlangsungan sekujang ini karena adanya pemerintahan adat dan pemerintahan desa yang terus berusaha melestarikan tradisi sekujang menjadi salah satu faktor bertahannya sekujang. Desa Talang Benuang terdiri dari dua pemerintahan, yakni pemerintahan adat dan pemerintahan desa yang keduanya mendukung secara penuh dan terus berusaha melestarikan tradisi sekujang agar tidak kalah oleh modernnya zaman. Karena menurut mereka kebudayaan yang tergambar dalam tradisi akan menjadikan mereka tetap memiliki identitas yang kemudian akan secara mudah dikenal oleh masyarakat luar.
Seperti yang dikemukakan oleh kepala desa Talang Benuang, Endang Subandi:
“Kami terus berusaha melestarikan sekujang, karena di desa ini memiliki dua pemerintahan yakni pemerintahan adat dan pemerintahan desa yang sama-sama berjuang untuk terus melestarikan sekujang.”[19]

Faktor selanjutnya yang menjadikan tradisi sekujang ini tetap bertahan adalah karena banyaknya masyarakat setempat yang merasa terhibur  dengan adanya tradisi ini. Selain sebagai hiburan, mereka juga menjadikan momen ini sebagai ajang silaturahmi karena dalam suasana lebaran/ Idul Fitri. 
Faktor pendukung yang terpenting dalam pelaksanaan sekujang ini adalah karena tradisi sekujang yang dilaksanakan di desa Talang Benuang ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalaupun ada hal-hal yang nampak bukan berasal dari ajaran Islam, itu adalah sebagai wujud dari budaya lokal yang berusaha dilestarikan dan perlahan pemaknaannya sudah dimasuki ajaran Islam.
“Sekujang ini makanya kami pertahankan selain tradisi dari nenek moyang juga karena tidak bertentangan dengan Islam. Kalau ada pelaksanaannya yang masih kelihatan seperti penganut animisme, dinamisme, atau diluar Islam lainnya itu hanya simbol yang maknanya sudah bergeser menjadi islami.”[20] Ujar Bapak Endang Subandi.

Faktor yang terakhir ini dijadikan dasar pendukung yang kuat bagi para pelestari sekujang, karena dalam berbagai kebudayaan yang dipertimbangkan adalah menyimpang atau tidaknya bagian dari budaya tersebut dari agama.
4.         Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal dalam Tradisi Sekujang
Agar mampu menggambarkan adanya akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi sekujang, penulis terlebih dahulu akan memaparkan beberapa unsur keislaman dan unsur budaya lokal dalam tradisi sekujang. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a.     Unsur keislaman dalam sekujang
Ada beberapa unsur keislaman dalam pelaksanaan tradisi sekujang, yakni sebagai berikut:
1)      Pelaksanaan sekujang yang berpatokan pada hari besar Islam, yakni sore-malam hari Idul Fitri (2 syawal). Ini menunjukkan bahwa tradisi sekujang mengandung unsur-unsur budaya Islam karena pelaksanaan sekujang ini berpatokan pada tahun Islam (hijriyah), bukan  pada tahun masehi. Dan pada tanggal 2 syawal ini di Indonesia sering dijadikan sebagai waktu untuk bersilaturahmi yang disebut dengan halal bihalal.
“ Sekujang ni dilaksanakan setiap tanggal 2 syawal, berarti yang punya tradisi ini adalah orang Islam karena makai tahun hijriyah”.[21]
    
2)      Sedekah
Konsep sedekah ini tergambar pada masyarakat yang menyumbangkan kue pada anggota sekujang yang kelak makanan yang diberikan akan didoakan dan pahalanya dikhususkan  untuk arwah terputus yang berada di desa tersebut.
“Dengan memberikan makanan kepada anggota sekujang  ini menggambarkan sedekah, karena makanan ini kelak akan dikumpulkan dimasjid kemudian berdoa dan pahala sedekah tersebut dikhususkan untuk arwah terputus seperti orang yang mati tidak memiliki keturunan, orang yang mati dalam keadaan masih bujang, orang yang mati hanyut dan lain-lain.”[22] Ujar bapak Endang Subandi.

3)      Mendoakan orang yang telah meninggal yang dalam tradisi Islam Indonesia disebut sebagai tahlilan.
Dalam ajaran Islam ada tiga hal yang tidak akan terputus setelah seseorang meninggal dunia. Yakni amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orangtuanya. Dalam hadist disebutkan:
اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث: صدقة جارية اوعلم ينتفع به أو ولد صالح يدعوله.
“Jika anak adam meninggal dunia, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim).

Sedangkan menurut warga setempat, mereka yang meninggal tidak memiliki keturunan tidak ada yang mendoakan. Oleh karena itu warga setempat bersedekah dengan memberikan makanan yang pahalanya dikhususkan untuk arwah yang tidak memiliki keturunan.
Seperti ungkapan Bapak Matzakir:
“Sekujang ni intio minta nga tuhan, minta-minta jemo yo mati nido ado keturunan, jemo yo mati bujang, jemo mati anyut tu di tenangka. Mangko tu buah-buahan luak rambutan, jambu, manggus pacak bebuah lebat”. [23]

“Sekujang ini intinya minta kepada tuhan, semoga arrwah orang yang meninggal tidak memiliki keturunan, orang yang meninggal dalam keadaan masih bujang, orang yang meninggal karena hanyut itu arwahnya diberikan ketenangan. setelah itu buah-buahan seperti rambutan, jambu, manggis berbuah lebat”.

Mereka meyakini bahwa doa yang mereka kirim dengan keikhlasan hati dan dengan penuh kebersamaan akan sampai pada ruh orang yang telah meninggal dunia.
4)      Menggunakan masjid sebagai tempat untuk berdoa’.
Setiap penganut agama memiliki tempat peribadatan sebagai tempat atau sarana untuk beribadah. Begitu juga orang Muslim sebagai sebutan bagi penganut agama Islam. Mereka memiliki tempat peribadatan yang disebut masjid. Pelaksanaan sekujang pada tahap terakhir dilaksanakan di masjid, ini menunjukkan bahwa pelaku sekujang ini adalah orang-orang Islam. 
“Pelaksanaan terakhir itu nanti berdoa dimasjid, biar orang-orang tau kalau yang melaksanakan sekujang ini adalah orang Islam.” [24]

b.      Unsur budaya lokal dalam sekujang
1)      Memberi makan arwah terputus
Memberi makan arwah terputus ini digambarkan pada prosesi ketika warga masyarakat memberikan makanan atau kue pada anggota sekujang yang datang kerumah warga. Mereka berkeyakinan bahwa ketika arwah terputus tersebut telah diberi makan, maka arwah itu tidak akan menganggu kehidupan mereka.
“Ada juga yang beranggapan bahwa dengan memberikan makanan kepada anggota sekujang ini berarti memberikan makanan kepada arwah yang berada di desa ini, dengan begitu arwah tersebut tidak akan mengganggu kehidupan manusia.”[25]
2)      Menggunakan sesajen dan membacakan mantra dalam prosesi sekujang.
Sesajen ini adalah sebagai simbol memberikan makanan kesukaan  pada arwah yang berada di desa tersebut. Sedangkan mantra yang dibacakan bertujuan agar pelaksanaan sekujang berjalan lancar.
3)      Membakar kemenyan
Kemenyan ini diyakini oleh masyarakat sebagai wewangian yang sangat disukai oleh para arwah. Dalam hal ini kemenyan awalnya digunakan untuk memanggil para arwah, namun saat ini hanya digunakan sebagai syarat dan wewangian saja.
Penulis telah merumuskan beberapa hal yang termasuk kedalam unsur budaya lokal dan unsur keislaman dalam tradisi sekujang. Dari beberapa unsur budaya lokal dan unsur keislaman yang ada dalam pelaksanaan sekujang dapat dilihat adanya beberapa akulturasi dalam kedua unsur tersebut. Adapun bentuk akulturasi tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam prosesi memberikan makanan kepada anggota sekujang. Pemberian makanan pada anggota sekujang ini dianggap sebagai bentuk pemberian makanan terhadap arwah terputus yang tidak memiliki keturunan dan tidak memiliki tempat. Sedangkan sekarang pemaknaan kegiatan ini telah bergeser yang dianggap sebagai bentuk sedekah dalam Islam.
Kedua,dalam prosesi membakar kemenyan yang dianggap wewangian yang disukai oleh para arwah dan arwah tersebut akan datang ketika kemenyan tersebut dibakar. Kini sebagian besar dari mereka hanya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari tradisi saja yang tak memiliki makna sakral lagi.
Ketiga, dalam tahap membaca mantra. Dahulu, masyarakat menganggap bahwa mantra yang dibacakan pada saat kenurian ini merupakan dialog antara sang dukun dengan arwah yang berada di desa tersebut. Dialog tersebut merupakan permintaan kepada arwah untuk meminta perlindungan agar pelaksanaan sekujang berjalan lancar. Namun, dalam perkembangannya, kini mantra ini dibacakan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT agar pelaksanaan sekujang dari awal hingga akhir berjalan dengan lancar. 
Agar lebih mudah dipahami, adanya akulturasi Islam dan budaya lokal dalam tradisi sekujang akan penulis gambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
No
akulturasi Islam dan budaya lokal
Bentuk Kegiatan
Keterangan
1
1.      Kepercayaan memberi makan arwah akan membuat warga tenang dan tidak diganggu oleh arwah yang ada di desa tersebut.
2.      Konsep sedekah dalam Islam dinggap oleh warga akan menjadikan desa menjadi aman dan menyuburkan tanaman
Pemberian makanan kepada anggota sekujang saat berkeliling kerumah-rumah warga


2
1. kemenyan awalnya diyakini sebagai wewangian yang disukai oleh para arwah dan media penghubung antara para arwah dengan manusia.
2. dalam perkembangannya kemenyan hanya  digunakan sebagai syarat yang tidak dianggap sakral lagi.

Membakar kemenyan pada saat kenurian
Kenurian adalah proses pembacaan mantra pada sesajen yang telah disediakan
3
1. Dahulunya, Mantra dibacakan untuk meminta izin kepada arwah yang berada di desa tersebut agar tidak mengganggu selama proses sekujang berlangsung.
2. Mantra yang dibacakan adalah berupa doa-doa yang ditujukan kepada Allah untuk memohon perlindungan agar prosesi sekujang berjalan lancar.



Membaca mantra oleh sesepuh adat dalam proses kenurian

Tabel 8: akulturasi Islam dan Budaya lokal dalam tradisi Sekujang

5.      Pandangan Islam Terhadap Tradisi Sekujang
Tradisi sekujang di desa Talang Benuang ini menurut beberapa informan merupakan suatu tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka pada masa sebelum Islam masuk ke Bengkulu. Dari beberapa kegiatan dalam pelaksanaan sekujang ini juga masih bisa diidentifikasi adanya bentuk kepercayaan kepada arwah-arwah leluhur seperti adanya kegiatan membakar kemenyan, menggunakan sesajen dan memberi makan para arwah.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya Islam di daerah setempat, maka pelaksanaan yang bersifat ritual terhadap para arwah leluhur itu perlahan dimaknai dengan hal-hal yang berbau Islami. Ini dikarenakan dalam Islam kepercayaan terhadap apapun selain Allah SWT adalah perbuatan syirik yang akan merusak keimanan seseorang. Hal ini disebutkan dalam Surat Annisaa ayat 48:
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ  
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”[26]

Jika dalam pelaksanaan tradisi sekujang tersebut masih tampak adanya kepercayaan terhadap arwah leluhur itu hanya merupakan bagian dari tradisi yang kini pemaknaannya sudah berubah kearah yang lebih islami. seperti yang tampak pada beberapa kegiatan ini:
Pertama, dalam prosesi memberikan makanan kepada anggota sekujang mengandung dua unsur, yakni unsur keislaman dan budaya lokal. Pemberian makanan pada anggota sekujang ini dianggap sebagai bentuk dari budaya lokal yang merupakan pemberian makanan terhadap arwah terputus yang tidak memiliki keturunan dan tidak memiliki tempat. Karena menurut mereka, arwah yang ada di desa tersebut akan tetap membutuhkan makanan, akan membuat warga merasa aman karena tidak akan diganggu oleh arwah tersebut dan juga akan menyuburkan tanaman dan menjadikan pohon buah-buahan berbuah lebat. Sedangkan sekarang pemaknaan kegiatan ini telah bergeser yang dianggap sebagai bentuk sedekah dalam Islam. Mereka meyakini bahwa makanan yang diberikan kepada anggota sekujang ini dalam ajaran Islam akan mendapatkan pahala bila diniatkan dengan ikhlas dan Allah akan melipatgandakannya. Hal tersebut senada dengan firman Allah SWT dalam surat Saba ayat 39:
ö@è% ¨bÎ) În1u äÝÝ¡ö6tƒ s-øÎh9$# `yJÏ9 âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t7Ïã âÏø)tƒur ¼çms9 4 !$tBur OçFø)xÿRr& `ÏiB &äóÓx« uqßgsù ¼çmàÿÎ=øƒä ( uqèdur çŽöyz šúüÏ%꧍9$# ÇÌÒÈ  
39. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”[27]

Jika anggapan masyarakat dalam budaya lokal dengan memberikan makanan kepada arwah maka akan menyuburkan tanaman atau menjadikan pohon buah-buahan yang ada di desa setempat tersebut menjadi lebat, maka jika dihubungkan dengan firman allah SWT tersebut jelas bahwa bersedekah akan melapangkan rezeki seseorang.
.  Selain itu, makanan yang diberikan kepada anggota sekujang ini kemudian didoakan bersama dengan dipimpin oleh tokoh agama setempat. Doa yang dibacakan ini merupakan doa yang dikhususkan untuk para ruh atau arwah yang berada desa setempat agar arwah tersebut diberikan ketenangan.
Kedua,dalam prosesi membakar kemenyan memiliki unsur budaya lokal yang berkeyakinan bahwa kemenyan ini merupakan wewangian yang disukai oleh para arwah dan arwah tersebut akan datang ketika kemenyan tersebut dibakar. Sedangkan dalam Islam, percaya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik yang akan merusak keimanan seseorang. Namun, seiring bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang Islam dan dalam Islam hal tersebut merupakan larangan, maka perlahan pemaknaan dalam acara bakar kemenyan ini mulai bergeser. Kini sebagian besar masyarakat hanya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari tradisi saja yang tak memiliki makna sakral lagi.
Ketiga, dalam tahap membaca mantra. Dahulu, masyarakat menganggap bahwa mantra yang dibacakan pada saat kenurian ini merupakan dialog antara sang dukun dengan arwah yang berada di desa tersebut. Dialog tersebut merupakan permintaan kepada arwah untuk meminta perlindungan agar pelaksanaan sekujang berjalan lancar. Namun, dalam perkembangannya, mantra ini dibacakan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT agar pelaksanaan sekujang dari awal hingga akhir berjalan dengan lancar. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mampu mentransformasikan makna dalam suatu kebudayaan.
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan mengenai hubungan pelaksanaan sekujang dengan Islam, penulis berkesimpulan bahwa tradisi sekujang dalam pandangan Islam diperbolehkan, karena pemaknaan dalam pelaksanaannya telah bergeser kearah yang lebih islami. Adapun hal-hal yang masih tampak seperti kepercayaan terhadap arwah leluhur adalah merupakan bentuk tradisi masyarakat yang sudah tidak dianggap sakral lagi. Kalaupun ada masyarakat yang masih beranggapan bahwa tradisi tersebut adalah bagian dari kepercayaan terhadap arwah leluhur, maka dengan adanya para pelestari sekujang yang terdiri dari perangkat adat dan perangkat desa di desa Talang Benuang dengan pengetahuan keislaman yang mendalam mereka akan menjadi agen dalam mentranformasikan kebudayaan kearah yang Islami.



[1] Wawancara dengan Bapak Yapani (anggota BPD dan mantan ketua adat desa Talang Benuang), tanggal  30 Juni 2015.
[2] Buku profil Desa Talang Benuang tahun 2014
[3] Buku Profil Desa Talang Benuang Tahun 2014
               
[4] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi yang merupakan kepala desa Talang Benuang.
[5] Buku Profil Desa Talang Benuang tahun 2014
[6] Buku Profil Desa Talang Benuang Tahun 2014
[7] Buku Profil Desa Talang Benuang Tahun 2014
[8]Buku Profil Desa Talang Benuang tahun 2014
[9] Wawancara dengan Bapak Yapani selaku mantan ketua adat dan anggota BPD
[10] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi selaku kepala desa Talang Benuang
[11]Wawancara dengan Bapak Yapani (anggota BPD dan mantan ketua adat desa Talang Benuang) pada tanggal 30 Juni 2015
[12] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi yang merupakan kepala desa Talang Benuang pada tanggal  02 Juli 2015
[13] Wawancara dengan Bapak Sanuli yang merupakan anggota sekujang dan mantan ketua sekujang pada tanggal 02 Juli 2015
[14] Lengguai adalah sejenis mangkok yang terbuat dari kuningan yang berisi sirih, gambir, tembakau, kapur, dan pinang. Lengguai ini dibawa oleh orang yang bersangkutan kepada kepala desa ketika akan melaksanakan tradisi atau adat yang dipegang oleh masyarakat setempat. Wawancara dengan Bapak Yapani yang merupakan anggota BPD dan mantan ketua adat desa Talang Benuang  Selasa, 28 juli 2015 pukul 12.00 WIB.
[15] Wawancara dengan Bapak Sanuli yang merupakan anggota sekujang dan mantan ketua sekujang, pada Kamis, 02 Juli 2015 pukul 09. 20 WIB
[16] Wawancara dengan Bapak Matzakir yang merupakan sesepuh adat desa Talang Benuang, pada hari Selasa, pukul 11.20 Wib.
[17] Wawancara dengan Bapak Yapani yang merupakan anggota BPD dan Mantan ketua adat desa Talang Benuang  
[18] Wawancara dengan Bapak Yapani (anggota BPD dan Mantan ketua adat desa Talang Benuang)
[19] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi (kepala desa Talang Benuang)
[20] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi (kepala desa Talang Benuang)
[21] Wawancara dengan Bapak Yapani (anggota BPD dan mantan ketua adat desa talang Benuang)
[22] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi (Kepala desa Talang Benuang)
[23] Wawancara dengan Bapak Matzakir yang merupakan sesepuh adat di desa Talang Benuang
[24] Wawancara dengan Bapak Endang Subandi (kepala desa Talang Benuang)
[25] Wawancara dengan Bapak Yapani (anggota BPD dan mantan ketua adat)
[26] Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahnya, Semarang, Toha Putra, tahun 2002.
[27] Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahannya, Semarang, Toha Putra, tahun 2002. Hal. 432




Tidak ada komentar:

Posting Komentar